Mohon tunggu...
Roman Rendusara
Roman Rendusara Mohon Tunggu... Petani - Memaknai yang Tercecer

Roman Rendusara lahir dan tumbuh sebagai anak kampung di Rajawawo, Kec.Nangapanda, Ende-Flores, NTT. Kini, menetap di kampung sebagai seorang petani, sambil menganggit kisah-kisah yang tercecer. Kunjungi juga, floreside.wordpress.com.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Lopijo

7 September 2016   10:36 Diperbarui: 8 September 2016   09:16 364
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar Ilustrasi. Sumber: sidomi.com

Merty tak pernah tersenyum sejak saya berada di hadapannya. Sapanya tidak seperti biasa. Sangat hambar. Saya menjadi kikuk, merasa tidak nyaman. Pertemuan tanpa sengaja di depan toko Langganan itu bukan seperti bertemu teman lama. Padahal kami teman lama yang akrab. Saking akrabnya kami sering makan sepiring meski bukan pacaran. Kami selalu berdua seperti sepasang sendal.

“Lagi putus cinta ‘kah?” tanyaku dengan senyum selebar-lebarnya.

“Tidak le”, ujarnya singkat.

“Lalu....???”

“Saya butuh waktu mau mengerti keadaan saya sendiri. Dan kau tidak mungkin paham hanya lewat pertemuan sesingkat ini”

Kota Bajawa sangat cerah hari itu. Awan-awan belum sempat berkumpul dan berunding untuk menjatuhkan hujan di atas kota itu. Mereka masih berpisah satu dengan yang lain. Beberapa gumpal awan-awan kecil hanyalah anak ayam yang kehilangan induk. Meski dingin tetap menusuk-nusuk nyeri.

Merty menarik tangan saya, untuk berjalan beberapa meter, menuju sebuah kafe. Letakknya sejarak kekuatan lempar mangga dengan lapangan Kartini. Saya sudah pernah ke kafe ini. Sering kami jadikan tempat nongkrong yang nyaman. Tempat diskusi sambil menyeruput kopi Bajawa. Ditemani aroman kopi yang khas dan berani beberapa topik dan buku biasa dibahas di sini. Sudah pasti, dengan suasana santai kami berlama-lama.

“Merty, kau ajak saya ke tempat yang pas”

“Ah, ini bukan mau nostalgia kau dengan kekasihmu”

“Bukan, bukan maksud saya begitu. Saya belum pernah ajaknya ke sini. Tapi...?”

“Tapi..? Ehmm”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun