Mohon tunggu...
Revli Ohp Mandagie
Revli Ohp Mandagie Mohon Tunggu... -

Lahir di Manado pada tanggal 6 Maret 1960. Setelah menyelesaikan pendidikan di SMA Kristen Eben Haezar Manado, Mei 1979, Revli merantau ke Jakarta.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Dibawah Payung Stabilitas Pasca Deklarasi Partai Golkar Mendukung Pemerintah

26 Januari 2016   00:55 Diperbarui: 26 Januari 2016   09:53 594
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Wisata. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Masih segar dalam ingatan kita reformasi tahun 1998, lebih dari 17 tahun silam. Elemen mahasiswa yang menjadi penggerak, menuntut adanya perubahan sistim pemerintahan orde baru “Soeharto” yang waktu itu terlalu kuat untuk semua aspek. Untuk menelusuri sebab akibat reformasi, sekaligus untuk mengetahui sejauh mana hasil atau pengaruh pergerakan mahasiswa tahun 1998, apakah sudah maksimal atau belum, berikut ini uraian singkat yang dapat disimak dalam kerangka mengedepankan “stabilitas” dalam melanjutkan pembangunan ekonomi. 


Perjalanan sejarah kemerdekaan Indonesia yang diproklamirkan Bung Karno tahun 1945 berlangsung penuh pergolakan sebagai akibat dari sisa-sisa penguasaan dari kaum penjajah, ditambah lagi dengan upaya para pemimpin bangsa Indonesia waktu itu dalam menemukan “jati diri” kepemimpinan yang sesuai dengan situasi dan kondisi bangsa Indonesia yang majemuk. Kemajemukan bangsa Indonesia sering memicu pergolakan diberbagai wilayah, bahkan isu etnis, SARA hampir tidak terbendung sehingga terjadi berbagai pergolakan dengan latar belakang SARA antara lain peristiwa Kahar Muzakar, DI/TII, PRRI, PERMESTA, dll. 


Dibidang politik, tuntutan multi partai dalam pemerintahan tidak terelakan dan yang sangat mengejutkan dengan waktu yang relatif singkat Partai Komunis Indonesia (PKI) pada waktu itu menempati papan atas dengan membayangi keunggulan Partai Nasional Indonesia, Nahdatul Ulama, dan Muhamadiyah dalam pemilihan umum tahun 1955. Hal ini memang tidak mengherankan karena kekuatan paham Komunis di berbagai belahan dunia sedang berada di posisi atas, sehingga langsung ataupun tidak langsung mempengauhi kehadiran PKI di Indonesia. 

Bagi bangsa Indonesia sendiri dibawah kepemimpinan Bung Karno yang nota bene sebagai salah satu sosok pemimpin besar yang menjadi perhatian dunia terutama Dunia Barat dan Amerika Serikat, pandangan terhadap kehadiran paham komunis menjadi titik sentral perbedaan pandangan. Bung Karno, dengan rasa percaya diri berkeinginan untuk menyelesaikan berbagai isu komunis dengan cara dan kemampuannya sendiri yang dia dan bangsa Indonesia miliki. Di satu sisi Dunia Barat merasa sangat terganggu dengan bahaya laten komunis dan terus berupaya untuk menumpas habis sampai keakar-akarnya. 

Situasi politik ini, sangat mempengaruhi keberadaan bangsa Indonesia yang sedang mencari jati diri terutama dalam mengisi kemerdekaan dengan pembangunan semesta. Ketidakstabilan pemerintahan dan kepemimpinan ini menjadi bagian kekosongan sehingga hal yang tidak bisa dihindari pergolakan semakin meluas di berbagai wilayah Republik Indonesia. 
Sejalan dengan itu, paham kekaryaan untuk membangun mulai dicetuskan oleh Bung Karno dengan hadirnya Sekretariat Bersama Golongan Karya (SEKBER GOLKAR) diawal dekade 60an, yaitu upaya untuk menyatukan berbagai elemen dan golongan masyarakat Indonesia, yang sudah tentunya sebagai keinginan yang kuat untuk menciptakan “STABILITAS” dalam membagun masyarakat dan bangsa Indonesia. 

Namun demikian, perbedaan pandang Dunia Barat dengan Bung Karno dalam penanganan paham komunis, semakin memicu perbedaan pandang yang ada dalam kepemimpinan bangsa Indonesia pada waktu itu. Upaya Bung Karno dengan menyatukan berbagai elemen golongan masyarakat melalui “NASAKOM – Nasionalis, Agama dan Komunis” bahkan dicurigai Dunia Barat. Konon memicu perpecahan Nasional dan kehadiran Komunis di Indonesia terus ditumpas dan mulai terpinggirkan antara lain dapat dilihat adanya sisa-sia Fretilin di Timor Timur.

Peristiwa Gerakan 30 September 1965, adalah puncak penumpasan PKI dan dengan sendirinya merupakan “kekalahan” Bung Karno terhadap Dunia Barat, termasuk penjajahan model baru dibidang Ekonomi, karena sebagai pertanda titik awal masuknya Modal Asing dalam pembangunan nasional. Pikiran pragmatis kebanyakan masyarakat dan bangsa Indonesia yang terus dilanda pergolakan dan “in-stabilitas” mengalahkan pikiran idealis nasionalis, sehingga kehadiran Modal Asing di Indonesia tidak banyak mengalami hambatan. Hal ini diperkuat dengan hadirnya sosok pemimpin baru Soeharto, yang tentunya sangat didukung oleh Dunia Barat, karena dianggap dapat mengakomidir kepentingan Barat dalam penumpasan Komunis, dibandingkan dengan Bung Karno yang seolah walaupun sedikit “memihak” pada Komunis melalui NASAKOM. 

Kutamaan “stabilitas” yang ditumbuhkembangkan Soeharto dengan dukungan penuh Dunia Barat, khususnya Amerika Serikat, termasuk kesempatan masuknya Modal Asing dalam pembangunan Nasional masyarakat dan bangsa Indonesia, menjadi indikator utama keberhasilan pembangunan sehingga mengantar Orde Baru “Soeharto” sampai lebih dari 3 dekade pemerintahan. Sebutan “Bapak Pembangunan” sangat mengikat dan semakin menjadikan rezim Soeharto menjadi kuat tak tergoyahkan.

Semua elemen, lapisan masyarakat dan bangsa Indonesia seolah dirasuk untuk masuk dan tetap dalam pikiran “pragmatis”. Tentu saja bukan hal yang keliru atau salah, bahkan karena keberhasilan pembangunan semua lapisan mengakui keunggulan Orde Baru dibawah kepemimpinan Soeharto, yang dapat menciptakan stabilitas. 
Sesungguhnya, stabilitas memang sangat diperlukan dalam tatanan membangun masyarakat dan bangsa Indonesia, namun demikian sangat tidak diduga bahwa kecurangan dan ketidakadilan yang terakumulasi selama 3 dekade, terpatri dalam pikiran Mahasiswa.

Karena kuatnya pengaruh asing dalam pembangunan Nasional dan kekuatan Modal Asing yang menurut pikiran Mahasiswa sangat mendominasi keputusan-keputusan politik kepemimpinan Orde Baru, pada akhirnya memicu untuk diadakan perubahan. Struktur politik Orde Baru dibawah bendera Golongan Karya (GOLKAR), menjadi salah satu sorotan utama, bahkan sampai pada tuntutan untuk mebubarkan GOLKAR. 

Situasi dan kondisi semakin tidak pasti, bahkan sisa-sia kekuatan Nasionalis ikut memicu tuntutan reformasi Mahasiswa, dan berhasil mendesak Soeharto mundur dari kepemimpinan Nasional. Keputusan politik GOLKAR melalui kehadiran Akbar Tanjung, adalah hal yang mungkin kurang mendapat perhatian serius oleh sementara kalangan. Sang “arsitek” Akbar Tanjung berhasil meyakinkan publik yaitu konstituen dan masyarakat Indonesia bahwa GOLKAR telah berubah dengan paradigma baru.

Memang tidak perlu dan tidak harus dibubarkan, tetapi kejayaan dan keunggulan “stabilitas” dalam suatu kepemimpinan nasional merupakan modal utama. Sejalan dengan itu, beberapa pemikir GOLKAR (termasuk sang arsitek Akbar Tanjung ??), mendorong hadirnya kembali suatu kepemimpinan yang stabil dengan membidani kelahiran “Partai Demokrat”, dengan diawali tatanan politik multi partai untuk memenuhi sebagian tuntutan reformasi. 

ERA Soesilo Bambang Yoedoyono (SBY)

Tidak bisa dipungkiri, lebih dari 80% (mutlak), kader-kader GOLKAR mendapat tempat yang baru diberbagai Partai Politik yang baru lahir untuk menyalurkan kemampuan dan pengalaman selama 3 dekade dalam kekuasaan pemerintahan Orde Baru. Tentunya dengan perbaikan dan penyempurnaan sana sini, dan belajar dari pengalaman selama ini, maka kehadiran Partai Demokrat menjadi pilihan utama karena dapat menampung aspirasi kaum nasionalis yang selama ini tidak mendapatkan tempat yang layak.

Kenyataan ini berhasil mendorong SBY menuju kursi RI–1, dan masa pemerintahan 5 tahun pertama merupakan periode yang menjadi pilihan sang Presiden SBY untuk mempertaruhkan semua kemampuan yang dimiliki dan dengan mempelajari pengalaman dan track record pemimpin nasional sebelumnya, serta latar belakang militer yang disandangnya maka pilihan “stabilitas” lagi-lagi menjadi pilihan unggulan untuk SBY dalam kepemimpinannya, sehingga terbuka kesempatan untuk periode 5 tahun berikutnya sejak 20 Oktober 2009.

Drama untuk mempertahankan “stabilitas” seakan terus menjadi pilihan utama karena telah teruji dari berbagai pengalaman pemimimpin Nasional selama ini. Banyak pihak menilai bahwa pemerintahan SBY  tidak ada oposisi, dan menjadi mayoritas tunggal, sehingga nyaris tidak banyak kritik dan atau koreksi yang berarti dalam mengawal jalannya pemerintahan. Disatu sisi, banyak pihak yang tetap berpikir pragmatis bahwa dewasa ini bangsa Indonesia harus mengejar berbagai ketinggalan pembangunan di semua sektor. Dibawah payung stabilitas, SBY melakukan konsolidasi politik dengan melakukan perbaikan terutama pendekatan kepada lawan politik, harus berbeda dengan gaya dan cara-cara yang dilakukan Soeharto di jaman Orde Baru. Payung stabilitas yang diusung SBY dengan cara merangkul semua kalangan termasuk lawan politiknya sehingga relatif tidak ada oposisi.

ERA JOKOWI

Lebih dari setahun pemerintahan JOKOWI, sejak 20 Oktober 2014, kita menyaksikan drama terakhir dengan tampilnya Aburizal Bakrie (ARB) sebagai Ketua Umum GOLKAR, yang baru saja menggelar RAPIMNAS dengan dihadiri oleh wakil-wakil resmi pemerintahan JOKOWI, yaitu: Wapres Jusuf Kalla, Menkopolhukam RI Luhut B. Panjaitan, Mendagri RI Tjahjo Kumolo dan Menkumham RI Yasona Laoli, dengan menghasilkan "Deklarasi" mendukung pemerintahan "Jokowi - JK",

disertai pernyataan penting bahwa ARB tidak bersedia maju sebagai Kandidat Ketua Umum dalam  agenda Munas Luar Biasa Partai Golkar yang akan dilaksankan dalam waktu dekat, bahkan memohon kepada Wapres (baca: Pemerintah) untuk "membujuk Agung Laksono" sang rival (hasil Munas Ancol), maka dengan sendirinya "PAYUNG STABILITAS"  menjadi energi baru bagi pemerintahan JOKOWI - JK dalam melanjutkan pembangunan nasional, terutama skala prioritas bidang Infrastruktur, maritim (toll laut), dan yang tidak kalah penting adalah pembangunan Sumber Daya Manusia dalam menghadapi persaingan global, secara khusus berlangsungnta MEA diawal tahun 2016 ini.

Eksistensi koalisi saat PILPRES yaitu KMP dan KIH, seakan tidak akan pernah terdengar lagi dimasa mendatang, sehingga fokus sisa 4 tahun pemerintahan JOKOWI-JK, tentunya akan semakin terarah untuk kepentingan Bangsa dan Negara, dengan harapan bahwa Kedaulatan Ekonomi Nasional mendapat porsi yang dominan sesuai dengan cita-cita para pendiri NKRI, tanpa mengurangi pentingnya kemitraan dengan pihak asing karena tuntutan globalisasi. Sekalipun demikian, Partai GERINDRA dibawah komando Prabowo Subijanto sangat diharapkan tetap menjadi "oposisi" sebagai kontrol terhadap jalannya pemerintahan JOKOWI-JK.     

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun