Mohon tunggu...
Rolan Sihombing
Rolan Sihombing Mohon Tunggu... profesional -

Kita tidak perlu otak jenius untuk memulai perubahan. Kita hanya perlu hati tulus yang tergerak mengulurkan tangan kepada penderitaan anak-anak bangsa yang tidak seberuntung kita. -www.rolansihombing.wordpress.com-

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Gereja dan Konflik Kekerasan Sosial

22 Oktober 2010   04:53 Diperbarui: 26 Juni 2015   12:13 4093
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Makna kedua dari khotbah Yesus di bukit, yaitu setiap orang yang secara proaktif mengupayakan perdamaian layak disebut sebagai anak-anak Allah. Pembawa damai (Ειρηνη) adalah orang-orang yang didorong oleh semangat dan komitmen untuk membawa perbaikan di tengah masyarakat yang sedang dilanda konflik; bahkan ia pun mengupayakan perdamaian ketika konflik itu belum terjadi. Alih-alih menimbulkan perpecahan ataupun kekacauan, para pembawa damai ini berusaha menggunakan pengaruh dan pikirannya untuk mengadakan rekonsiliasi, dan mencari titik temu di antara pihak-pihak yang bertikai. Sebagai orang-orang yang sudah diadopsi untuk menjadi anak-anakNya,[10] maka setiap orang Kristen dituntut untuk memperlihatkan karakter pembawa damai di tengah masyarakat.

Konflik kekerasan adalah sebuah fenomena sosial yang bisa datang sewaktu-waktu. Ia merupakan kolaborasi dari pelbagai faktor, sehingga menggunakan pendekatan militer untuk mengupayakan perdamaian, bukanlah alternatif yang efektif. Kekerasan harus ditumpas dengan anti kekerasan. Oleh karena itu, peran serta institusi keagamaan dalam penyelesaian kekerasan tanpa metode kekerasan adalah sebuah kemutlakan. Gereja sebagai bagian dari masyarakat, pun tidak bisa mengacuhkan tanggung jawab sebagai pembawa damai. Ketika gereja secara proaktif mengupayakan dan mempromosikan perdamaian di tengah masyarakat, maka pada akhirnya dunia akan melihat gereja sebagai komunitas yang merepresentasikan karakteristik Allah yang senantiasa menghendaki perdamaian.

Eleanor Roosevelt pernah berkata, "It is not enough to talk about peace, one must believe it. And it is not enough to believe it, one must work for it." Saat gereja-dan tidak hanya gereja, tetapi institusi-institusi keagamaan yang lain-tidak hanya mewacanakan dan mengimani perdamaian, tetapi juga mengupayakannya, maka dunia bisa mejadi sebuah panggung perdamaian yang terus semarak.

Semoga saja.


  • Daftar Pustaka
  • Amstrong, Karen. 2001. Berperang Demi Tuhan: Fundamentalisme Dalam Islam, Kristen, dan Yahudi. Bandung: Mizan.
  • Barr, James. 1996. Fundamentalisme. Jakarta: PT BPK Gunung Mulia.
  • Bauken, Wim. 1997. Agama Sebagai Sumber Kekerasan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
  • Bellah, Robert N. 2000. Beyond Belief: Esei-esei Tentang Agama di Dunia Modern, Jakarta: Paramadina.Brown, Michael E, et. al., (eds). 1997. "The Causes of Internal Conflict." dalam Nationalism and Ethnic Conflict. London: MIT Press.
  • Budiarjo, Miriam. 2002. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: Pustaka Gramedia Utama
  • Galtung, Johan. 2003. Studi Perdamaian: Perdamaian dan Konflik, Pembangunan dan Peradaban. Surabaya: Pustaka Eureka.
  • Hadi, Syamsul, Andi Widjajanto dkk. 2007. Disintegrasi Pasca Orde Baru: Negara, Konflik Lokal, dan Dinamika Internasional. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
  • Hidayat, Komaruddin dan M. Wahyudi Nafis. 2003. Agama Masa Depan: Perspektif Filsafat Perennial. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
  • Huntington, Samuel P. 2000. Benturan Antar Peradaban dan Masa Depan Politik Dunia. Yogyakarta: Qalam.
  • Kristiadi, J. 1999. "Pengantar:Masa Depan Ekonomi Politik Indonesia. dalam Indonesia Yang Berubah Jakarta:Pusat Data Indikator.
  • Rakhmat, Jalaluddin. 2003. Psikologi Agama: Sebuah Pengantar. Bandung: Mizan Pustaka.
  • Santoso, Thomas. 2003. Kekerasan Agama Tanpa Agama, Jakarta: Pustaka Utan Kayu.
  • Sitompul, Eimar. M. 2005 (ed). Agama-agama Kekerasan dan Perdamaian. Jakarta: Bidang Marturia PGI.


[1] Kata "amuk" digunakan dalam terminologi barat untuk menunjukkan tindak kekerasan yang dilakukan oleh penduduk di Nusantara. Kata ini digunakan dalam menjelaskan perilaku sadis yang tidak pernah ditemukan dalam budaya barat; bagaimana seseorang dengan tanpa merasa bersalah menenteng kepala manusia, lalu mengaraknya keliling desa atau kota-seperti yang terjadi taktala rentetan peristiwa pembunuhan dukun santet di Banyuwangi beberapa waktu lalu.

[2] Michael E. Brown menegaskan bahwa faktor etnisitas secara random berperan sebagai inisiator konflik jika etnisitas berinteraksi dengan salah satu atau kombinasi dari empat faktor berikut: (1) faktor struktural yang terkait dengan proses pembentukan negara-bangsa; (2) faktor politik yang bersumber dari cara negara dikelola; (3) faktor ekonomi dan sosial yang dibentuk dari kemampuan masyarakat dan negara untuk membentuk suatu struktur yang menjamin terpenuhinya kebutuhan dasar; (4) faktor budaya yang melihat sejauh mana proses pembentukan identitas kultural berpengaruh dalam interaksi antar kelompok sosial (lihat Michael E. Brown, "The Causes of Internal Conflict," dalam Michael E. Brown, et. al., (eds.), Nationalism and Ethnic Conflict, (London: MIT Press, 1997).

[3] lihat Th. Sumartana, "Mata Rantai dan Struktur-struktur Kekerasan di Indonesia," dalam  Eimar M. Sitompul (ed), Agama-agama Kekerasan dan Perdamaian, (Jakarta: Bidang Marturia PGI, 2005), hlm 53-58.

[4] J. Kristiadi, "Pengantar:Masa Depan Ekonomi Politik Indonesia," dalam Indonesia Yang Berubah, (Jakarta:Pusat Data Indikator, 1999), hlm xiv-xv.

[5] Terkait dengan ini, Samuel P. Huntington mengatakan bahwa konflik-konflik yang paling mudah menyebar dan sangat penting sekaligus paling berbahaya bukanlah konflik antarkelas sosial, atau antar golongan kaya dengan golongan miskin, ataupun juga antara kelompok-kelompok (kekuatan) ekonomi lainnya, tetapi konflik antara orang-orang yang memiliki entitas-entitas budaya yang berbeda-beda. Tetapi harus diketahui pula jika perbedaan tidak harus berakhir dengan konflik, dan konflik tidak selalu identik dengan kekerasan (2000:9).

[6] Menurut Samsu Rizal Panggabean (2005:25) dilihat dari aspek negara, tarikan dan dan mekanisme yang dapat mengarah kepada kekerasan sangat terkait dengan ciri dan kekhususan "negara" Orde Baru yang selalu ingin kuat dalam pengertian negatif. Ciri-ciri negara yang selalu ingin kuat yaitu ciri komando, ciri hegemoni, ciri maksimalis, dan ciri dominasi. Ciri komando adalah selalu di dalam proses alokasi di dalam negara dibina dan terstruktur berdasarkan komando. Ciri hegemoni adalah suatu keadaan dimana ada super-struktur ideologi dan kultural yang menyebabkan masyarakat yang diperintah menerima dan menyetujui kekuasaan kelompok yang berkuasa. Ciri maksimalis adalah dimana suatu pemerintahan serba mengurus dan paternalis, sehingga masyarakat sipil dibelenggu oleh kekuasaan politik. Dan yang terakhir, ciri dominasi, adalah dimana kekuasaan negara sangat dominan sehingga kekuasaan itu dapat dijalankan tanpa perlu dirundingkan dengan masyarakat sipil.

[7] Potret buram relasi Islam-Kristen di masa kolonial, yang terkontaminasi oleh kepentingan politik yang dibungkus kekerasan, ternyata tidak dapat begitu saja hilang dari memori kolektif masyarakat Maluku. Bahkan dalam taraf tertentu hal tersebut dipelihara melalui pola penyebaran pemukiman yang eksklusif berdasar agama. Selain itu, persaingan dalam menduduki jabatan publik yang kemudian terbungkus dalam kompetisi agama, juga menimbulkan kecurigaan-kecurigaan pada kedua belah pihak. Segregasi ini kemudian diikuti dengan segregasi ekonomi dan politik. Pola semacam itu pun akhirnya mengkondisikan masyarakat untuk memiliki kesadaran kelompok (in-group feeling) yang kuat vis a vis kelompok lain di luarnya. Liddle juga menandaskan, konflik antar umat beragama biasanya lebih sering didasarkan pada ketakutan dalam dua versi. Versi pertama adalah ketakutan orang Islam pada tujuan terselebung umat Kristen/Katolik. Misalnya ketika Benny Moerdani memimpin ABRI. Versi kedua adalah ketakutan orang Kristen/Katolik pada tujuan terselubung umat Islam. Misalnya, ketika Masyumi berjaya; atau pula ketika ICMI mulai bangkit sebagai kekuatan politik Islam (R. Willliam Liddle, "Menjawab Tantangan Masa Reformasi," Kompas, 8-9 Juni 2000).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun