Mohon tunggu...
Rolan Sihombing
Rolan Sihombing Mohon Tunggu... profesional -

Kita tidak perlu otak jenius untuk memulai perubahan. Kita hanya perlu hati tulus yang tergerak mengulurkan tangan kepada penderitaan anak-anak bangsa yang tidak seberuntung kita. -www.rolansihombing.wordpress.com-

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Masalah Pemanasan Global dan Aplikasinya Bagi Gereja-gereja di Indonesia

7 Oktober 2010   08:29 Diperbarui: 26 Juni 2015   12:38 2042
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Jadi pemanasan global adalah buah dari tindakan nir-etis manusia yang akibat keserakahan dan ketakbertanggungjawabannya terhadap alam, dan juga dengan tanpa memandang hak generasi selanjutnya untuk menikmati berkat Allah dari alam, melakukan eksploitasi semaksimal mungkin untuk mendapatkan keuntungan ekonomis sebanyak mungkin. Oleh karena itu titik tolak etika lingkungan yang teosentris dapat dikemukakan sebagai berikut. Pertama, adanya pengakuan bahwa segala sesuatu, termasuk manusia, adalah ciptaan Allah. Tetapi Allah tidak berhenti hanya pada penciptaan karena Ia merupakan Allah yang memelihara ciptaanNya. Di dalam tugas pemeliharaan ini, Allah mempercayakan pula kepada manusia. Sehingga sudah sepatutnya manusia secara proaktif memelihara lingkungan. Kedua, penyalahgunaan kepemimpinan manusia atas ciptaan Allah merupakan bentuk keberdosaan manusia. Manusia semestinya tidak hanya memanfaatkan alam, tetapi harus melakukan pengelolaan pada saat yang bersamaan. Rusaknya lingkungan merupakan akibat dari manusia yang dipenuhi dengan kerakusan akan uang. Akibatnya alam hanya dipandang sebagai sumber ekonomi dengan mengorbankan pemeliharaan atas alam.

Keterlibatan Gereja Indonesia Terhadap Masalah Pemanasan Global

Ada dua motif yang dapat dijadikan dasar gereja-gereja di Indonesia untuk melaksanakan tugas pemeliharaan ciptaan. Motif yang pertama adalah motif teologis, yaitu sebagai upaya melaksanakan misi gereja yang bersifat universal, artinya yang mencakup seluruh ciptaan. Tugas pemeliharaan ini merupakan pelaksanaan panggilan gereja untuk menghadirkan shalom Allah di bumi sebagai implementasi dari iman dan panggilannya. Gereja selaku persekutuan orang-orang yang telah dibaharui dalam Kristus, dipanggil untuk bertobat dari penyalahgunaan dan perlakuan nir-etis terhadap alam. Sehingga selain alam terlestarikan, tetapi juga alam akhirnya dapat memancarkan kebesaran dan kemuliaan Sang Pencipta.

Motif yang kedua adalah motif pembangunan, yaitu sebagai salah satu cara yang ditempuh gereja untuk mewujudkan peran sertanya yang aktif, positif, kritis, dan kreatif dalam mengisi pembangunan nasional sebagai pengamalan Pancasila. Sebagai bagian dari bangsa Indonesia, gereja dituntut memberikan kontribusi dalam pembangunan. Khususnya dalam membangun manusianya, yang dalam hal ini adalah umat. Karena hakikat pembangunan sesungguhnya tertuju pada diri manusia, yaitu membangun manusia Indonesia yang utuh. Artinya, pembangunan harus menghasilkan manusia yang selaras dengan Allah, selaras dengan sesama, dan selaras pula dengan alam. Oleh karena itu dalam konsep pembangunan Indonesia, tidak terdapat pemisahan antara pembangunan material di satu pihak dan pembangunan lingkungan hidup di pihak lain. Pembangunan barang-barang secara material tetap dibutuhkan bagi kehidupan manusia itu sendiri, tetapi ini tidak lantas berarti pengembangan lingkungan hidup pun dinomorduakan.[23]

Yang menjadi pertanyaan selanjutnya bagaimana mempraktekkan kepedulian terhadap lingkungan dalam realitas kehidupan sehari-hari. Karena realitas sangat tergantung dari persepsi. Minimnya ketidaktahuan dan ketidakpedulian gereja, khususnya umat, terhadap masalah pemanasan global pasti didasarkan pada persepsi yang salah mengenai apa sebenarnya tugas gereja di tengah dunia. Gereja ada di dunia sehingga gereja pun harus berjumpa dengan realita dunia. Oleh karena itu tugas gereja di tengah dunia tentulah harus bersifat holistis. Untuk bersifat holistis maka gereja dan umat harus menolak persepsi usang yang menganggap dunia sebagai sesuatu yang jahat dan yang harus dihindari. Karena dunia dengan segala kejahatannya berpotensi dapat melunturkan kemurnian iman jika gereja terlibat di dalamnya. Seperti halnya yang pernah terjadi di masa awal Gereja Tertulianus dimana keterlibatan orang Kristen dalam pemerintahan, militer, dan juga praktek sosial lainnya pada masa itu, sangatlah ditentang. Jadi hidup terpisah dari dunia mutlak diperlukan agar kekudusan kekristenan dapat dicapai.

Pandangan itu jelas sangat bertolak belakang dengan kebenaran Alkitab. Walaupun dunia ini sudah jatuh dalam dosa, tetapi Allah sangat mengasihi dunia ini. Sehingga Ia pun mengaruniakan PutraNya yang tunggal untuk melakukan karya penebusan, dan bukan untuk menghakimi dunia. Karena kasihNya itu, Ia menjadikan dunia ini tempatNya bekerja untuk menyelamatkan dunia. Berdasarkan itu, semestinya respon orang Kristen sebagai umat pilihanNya bukanlah menolak terlibat dalam dunia, tetapi berpartisipasi secara aktif dalam pekerjaan Allah di tengah dunia ini. Gereja-baik sebagai lembaga ataupun sebagai individu-harus hidup dalam dunia dan memperbaharui dunia demi kemuliaanNya. Pekerjaan gereja di tengah dunia akan menjadi sakral ketika itu dilakukan bagi kemuliaan Allah.[24] Jadi dikotomi antara sakral dan sekuler harus ditolak dalam pemikiran dan kehidupan kekristenan.

Minimnya ketidaktahuan dan ketidakpedulian gereja dalam penanggulangan masalah pemanasan global, juga disebabkan karena adanya mis-persepsi mengenai makna ibadah. Ibadah hanya dipersepsikan sebagai suatu kegiatan seremoni keagamaan yang dilakukan di dalam gedung gereja, dimana di dalamnya terdapat acara-acara seperti doa, menyanyikan lagu pujian, dan perenungan firman Tuhan. Tetapi berdasarkan kata aslinya, ibadah itu diistilahkan dalam sharath dan abodah dalam Perjanjian Lama, sedangkan dalam Perjanjian Baru kata yang digunakan adalah latreia dan leitourgia. Semua istilah itu memiliki arti "kebaktian" tetapi juga berarti "pelayanan", terutama pelayanan kepada Tuhan. Selain itu kata leitourgia dalam masyarakat Yunani diambil dari kata laos yang berarti "orang" dan ergon yang berarti "kerja." Hubungan yang sama pun terlihat dalam bahasa Indonesia. "Kebaktian" ialah upacara yang diadakan dalam gereja, tetapi juga berarti semua pekerjaan yang dilakukan oleh orang yang menghambakan diri kepada Tuhan.

Jadi makna dari ibadah yang sejati adalah ketika umat Allah berkarya di tengah dunia sebagai bentuk pengabdian kepada Sang Khalik. Ibadah bukanlah sekedar sebuah upacara keagamaan yang berlangsung seminggu sekali di gedung gereja. Ibadah yang sejati adalah seperti yang terdapat dalam Roma 12:1, yaitu ketika Allah dimuliakan dalam keseharian dan setiap detil kecil dari kehidupan. Kahlil Gibran dalam bukunya The Prophet menuliskan demikian:

"...Siapakah yang dapat memisahkan iman dari tindakan, kepercayaan dari   pekerjaan?...Kehidupan keseharianmu adalah kuilmu dan agamamu. Ketika    kamu masuk ke dalamnya, ikutkan seluruh diri kamu bersamamu."

Bumi Yang Lebih Hijau

Di dalam terang pemikiran tersebut, maka kita dapat beranjak dari etika ekonosentris yang dirasuki hasrat mendalam untuk mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya dari alam, menjadi etika ekosentris yang lebih memandang alam sebagai mitra untuk terjaminnya kelestarian dari kehidupan umat manusia. Etika ekosentris inilah yang lazim dikenal sebagai Etika Ekologi Dalam, yang mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:


  1. Menekankan hak hidup makhluk lain.
  2. Menerapkan kebijakan dan manajemen lingkungan bagi semua makluk.
  3. Menyadari alam harus dilestarikan, bukan untuk dieksploitasi secara membabi buta.
  4. Menyadari bahwa perlindungan keaneka-ragaman hayati dan budaya adalah penting.
  5. Menghargai dan memelihara tata alam.
  6. Mengutamakan tujuan jangka panjang sesuai ekosistem.
  7. Mengkritisi sistem ekonomi kapitalisme sambil menyodorkan sistem alternatif, yaitu mengambil sambil memelihara.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun