Mohon tunggu...
Fiksiana

Kura-kura yang Tetap Diam

16 Juli 2018   22:20 Diperbarui: 16 Juli 2018   22:31 491
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mual rasanya Bona mendengar celotehan gadisnya ini. Di samping mual, dia juga takut si gadisnya ini jadi gila. Masa kura-kura yang tidak bisa bicara dibilangnya pacar yang suportif? Pendengar yang baik? Kenapa tidak polisi tidur depan rumah saja dia bilang pasangan yang ideal?

“Sudah cukup, banyak kali cakap kau soal si John ini. Kau katakanlah apa sebenarnya mau kau Lis.”

Elis hendak tersenyum. Tapi ditahannya senyum itu, jangan sampai tersungging satu senti pun di bibirnya. Kalau tidak, semua rencananya bisa kacau. Bakal gagal dia men-skak mat mamaknya hari ini.

“Ya, yang aku mau cuma satu dari mamak. Aku mau doa restu. Soalnya, selama aku hidup 20 tahun ini, belum pernah aku mendapat restu mamak akan hubunganku dengan lawan jenis. Yang kudapat cuma ceramah, ancaman, bahkan usaha mamak untuk bunuh diri. Inginlah sekali-sekali anakmu ini mendapat berkat yang tercurah dari  mamaknya.”

Sejenak Bona tidak tahu harus berbuat apa. Dipandanginya John Tampubolon dengan lebih seksama. Bona berharap kalau saja kura-kura tersebut sama seperti cerita pangeran katak dalam dongeng. Cukup diberikan satu kali ciuman, sekejap dia menjelma menjadi pangeran tampan dan kaya raya. Namun dari gelagatnya yang sedari tadi hanya keluar masuk cangkang, sama sekali tidak ada potensi bahwa John Tampubolon adalah seorang pangeran yang dikutuk. Pengacara yang dikutuk pun tidak.

 “Lis, kalau kau bawa laki-laki sungguhan, maksud mamak yang manusia, betul-betul manusia, mungkin sudah mamak restui dengan senang hati. Cepat saja, tidak perlu bertele-tele, karena mamak pun juga kepingin kau punya pasangan.”


“Mak, mamak ini belum pikun kan. Baru juga 54. Kemarin-kemarin, baru sekitar 1 bulan yang lalu, sudah pernah Elis bawa laki-laki sungguhan yang benar-benar manusia. Baik budinya. Jelas latar belakang keluarganya. Dan yang paling penting mungkin buat kutegaskan pada mamak sekarang, kalau saja mamak lupa, namanya Said, dan dia bukan amfibi. Dia tidak bernapas lewat kulit dan cuma hidup darat mak.”

“Mamak bosan lis membahas ini…”

“Aku juga sudah bosan mak. Sebenarnya hari ini aku cuma mau kasih mamak pilihan. Mamak pilih mana yang lebih baik buat Elis, karena mamak sendiri yang bilang kalau orang tua selalu tahu yang terbaik buat anaknya. Sekarang pilih mak, pacaran beda spesies atau pacaran beda agama?”

Hari di luar terang benderang. Tapi Bona serasa mendengar suara petir yang menghantam bumi dengan kerasnya. Hatinya bergemuruh. Kurang ajar sekali anaknya ini. Tidak pernah terpikirkan olehnya kalau Elis akan datang dengan strategi buah simalakama seperti ini. Selama ini strategi-strategi Elis memang dinilai Bona kurang efektif. Bahkan cenderung klasik dan klise. 

Seperti mengajak Said ke rumah dan memberikan kejutan kue saat hari ulang tahun pernikahan Bona dan suaminya, menjadi sopir pribadi saat Bona sekeluarga bertandang ke Padang, yang kebetulan adalah kampung halaman Said, dan taktik-taktik menjilat calon mertua lainnya. Semuanya sudah diprediksi Bona sebelumnya, namun tidak dengan kehadiran John Tampubolon.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun