Pusing sekali kepala Bona. Padahal ia sudah makan obat darah tingginya secara teratur. Pagi ini pun sudah dia makan, kalau dia tidak lupa. Ah, tentulah dia tidak lupa, usianya baru lewat 4 angka dari 50, terlalu dini untuk mengalami kepikunan. Tapi memang kepalanya pusing. Bukan sakit. Bedakan pusing dengan sakit. Karena pusing jauh lebih ke persoalan batin, dan sakit lebih ke persoalan fisik.
“Apalagi yang kau buat ini Elis, baru selesai satu perkara dengan lelakimu, sudah kau buat pusing lagi mamak mu ini dengan perkara lain.”
“Tidak lah kumaksud untuk bikin mamak pusing. Mamak sendiri yang sudah memintaku untuk putus hubungan dengan Said. Sudah kulakukan mak. Dan wajarlah kalau kali ini aku mengenalkan pada mamak calonku yang baru.”
“Ya calon baru sih calon baru, tapi tak begini juga lah anak gadisku…”
Bagaimana si ibu tidak pening, si anak gadis baru saja mengenalkan calon suaminya yang baru. Mengenalkan pacarlah sederhananya. Tapi yang dibawa sang anak kali ini bukanlah sesosok lelaki. Bukan juga perempuan, karena anaknya bukanlah penyuka sesama jenis. Tunggu, kalau dipikir-pikir calon Elis yang baru ini memang laki-laki. Atau lebih tepat disebut, jantan. Karena sang calon adalah bukan manusia, melainkan kura-kura.
“Mamak belum tahu namanya kan. Namanya John. John Tampubolon. Batak dia mak. Separiban lah dengan mamak.”
Tidaklah penting lagi bagi Bona mau separiban atau tidak. Namanya memang keren, John Tampubolon. Seperti nama-nama pengacara, atau minimal pegawai negeri eselon tinggi. Tapi kalau sudah melihat tampang yang sebenarnya, si John ini tidak lebih dari kura-kura setinggi 5 cm, yang Bona yakin, baru dibeli Elis kemarin sore.
“Rupanya kau kemarin pergi ke toko hewan peliharaan ya, Lis. Sudah berani membohongi orang tua kau sekarang. Pengaruh Said lah ini.”
“Tidak mak, aku benar-benar main ke rumahnya Monik kemarin. Tapi kebetulan kucing peliharaan monik sedang sakit. Butuhlah dia bawa ke toko peliharaan. Di sanalah aku bertemu dengan John.
Mamak tidak lihat saja, gagah kali dia waktu berdiri di atas batu karang buatan di etalase toko. Matanya setajam bilah pisau yang siap menyayat-nyayat hati setiap wanita. Di situlah aku langsung jatuh hati mak. Pas aku tahu pun, marganya Tampubolon. Samalah dengan mamak kan.”
“Tapi John ini agak pendiam mak orangnya. Sepanjang jalan dia lebih banyak diam. Lebih banyak aku yang cerita. Ya mau bagaimana lagi, memang sudah ari orok aku terlahir dengan mulut yang hiperaktif kek gini kan. Aku yakin John cuma berusaha jadi pendengar yang baik. Jadi pasangan yang sepadan. Istilah jaman sekarang ini, pacar yang suportif lah si John ini mak.”