Semua orang ingin hidupnya bermakna. Tapi, apa itu arti hidup yang sebenarnya? Pertanyaan ini sering muncul di benakÂ
Dion, seorang pemuda berusia 24 tahun yang merasa hidupnya cuma sekadar rutinitas: bangun, kerja, pulang, tidur, lalu ulang lagi.Â
Di mata teman-temannya, Dion tampak sukses punya pekerjaan tetap, gaji cukup, dan tampak bahagia di media sosial.Â
Tapi di dalam dirinya, ada ruang kosong yang makin lama makin terasa sunyi.
Setiap malam, Dion sering merenung sendirian di kamar kosnya.Â
Kadang ia bertanya dalam hati, "Untuk apa semua ini? Apakah ini hidup yang harus dijalani sampai tua nanti?" Suatu malam, hujan turun deras.Â
Ia duduk di teras kos, memandangi rintik air yang jatuh di atas genteng.Â
Hening. Dan saat itulah ia sadar, sudah lama ia nggak merasa benar-benar hidup.
Keesokan harinya, Dion memutuskan untuk mengambil cuti seminggu.Â
Ia butuh waktu buat menjauh dari kebisingan kota dan tekanan kerja.Â
Tanpa rencana matang, ia naik bus ke sebuah desa kecil di pinggiran Danau Toba.Â
Ia cuma ingin menenangkan pikiran. Sesampainya di sana, suasana desa yang tenang, udara sejuk, dan senyum ramah orang-orang mulai menyentuh hatinya.
Di desa itu, ia bertemu Pak Simbolon seorang petani yang hidup sederhana.Â
Setiap pagi, Pak Simbolon pergi ke ladang dengan senyum di wajahnya.Â
Dion heran, "Apa yang bikin dia bahagia? Hidupnya berat, tapi wajahnya damai."Â
Ia pun mulai ngobrol dengan Pak Simbolon, dan di sanalah Dion mulai belajar banyak hal.
Pak Simbolon bilang, "Hidup itu bukan soal punya banyak, tapi soal mensyukuri yang sedikit.Â
Kalau hatimu penuh syukur, hidupmu akan terasa cukup." Kalimat itu seperti menampar Dion pelan-pelan.Â
Ia sadar selama ini terlalu sibuk mengejar pengakuan orang lain, tapi lupa mengenali dirinya sendiri.
Hari demi hari di desa itu membuat Dion merasa lebih ringan.Â
Ia mulai bangun pagi tanpa alarm, membantu Pak Simbolon di ladang, dan menikmati kopi hitam sambil melihat matahari terbit.Â
Hal-hal kecil yang dulu ia anggap sepele, kini terasa begitu berarti.Â
Ia mulai mencatat setiap rasa syukur yang ia alami di buku kecil.
Satu malam, Dion duduk sendiri di pinggir danau. Ia melihat pantulan bintang di air dan tiba-tiba menangis.Â
Bukan karena sedih, tapi karena akhirnya ia bisa merasakan hidup.
Arti hidup ternyata bukan dicari, tapi ditemukan saat kita berhenti sibuk dan mulai hadir sepenuhnya," pikirnya.
Setelah seminggu, Dion pulang ke kota. Tapi ia bukan orang yang sama.Â
Ia tidak lagi terobsesi dengan likes, gaji, atau jabatan.Â
Ia mulai melakukan hal-hal yang benar-benar ia cintai: menulis, mendengarkan orang lain, dan memperhatikan hal-hal kecil di sekitarnya.Â
Ia juga lebih banyak tersenyum---bukan untuk pencitraan, tapi karena hatinya damai.
Teman-temannya heran, "Kamu berubah, ya?" Dion cuma tertawa. Ia nggak perlu menjelaskan semuanya.Â
Karena kadang, arti hidup bukan sesuatu yang bisa dijelaskan dengan kata-kata. Tapi sesuatu yang hanya bisa dirasakan... saat kamu benar-benar hidup.
Dan sejak itu, Dion hidup bukan hanya untuk bertahan, tapi untuk benar-benar menjalani.Â
Bukan untuk menyenangkan semua orang, tapi untuk jadi versi terbaik dari dirinya sendiri. Dan di sanalah, arti hidup yang sebenarnya
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI