Mohon tunggu...
Roikan
Roikan Mohon Tunggu... Ilustrator - Kartunis yang Belajar Gaya Hidup Ilmiah

Kartunis yang mendalami Antropologi Media dan Budaya Kreatif. Alamat cangkruk warkop ada di https://www.roikansoekartun.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Mewujudkan Keluarga Sejahtera dan Literatif bersama PKH

1 Maret 2019   22:11 Diperbarui: 1 Maret 2019   22:40 111
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Terwujudnya Indonesia yang Berdaulat, Mandiri, dan Berkepribadian Berlandaskan Gotong Royong" menjadi visi misi Presiden Republik Indonesia. Salah satu permasalahan dalam sulitnya mewujudkan kedaulatan dan kemandirian adalah kemiskinan dan Eksklusi sosial karena keterbatasan akses.

Kemiskinan merupakan salah satu permasalahan yang pelik dan kompleks dalam dinamika bangsa. Kemiskinan bukan sebuah peristiwa tunggal, namun merupakan fenomena yang mengaitkan bidang sosial, ekonomi dan politik. 

Pengentasan kemiskinan menjadi pekerjaan rumah yang turut melibatkan semua aspek. Tidak hanya masalah bantuan dana atau pembangunan sarana prasarana semata. Harapan dalam upaya pengentasan kemiskinan terbagi dalam tiga dimensi utama yaitu kesehatan, pendidikan dan standar kualitas hidup.

Indikator kemiskinan yang dikeluarkan oleh BAPPENAS (2006) mempunyai makna yang relatif luas, yaitu dari berbagai sisi kebutuhan kehidupan, antara lain adalah; (1) terbatasnya kecukupan dan mutu pangan; (2) terbatasnya akses dan rendahnya mutu layanan kesehatan; (3) terbatasnya akses dan rendahnya mutu layanan pendidikan; (4) terbatasnya kesempatan kerja dan berusaha; (5) lemahnya perlindungan terhadap aset usaha, dan perbedaan upah; (6) terbatasnya akses layanan perumahan dan sanitasi; (7) terbatasnya akses terhadap air bersih; (8) lemahnya kepastian kepemilikan dan penguasaan tanah; (9) memburuknya kondisi lingkungan hidup dan sumberdaya alam, serta terbatasnya akses masyarakat terhadap sumber daya alam; (10) lemahnya jaminan rasa aman; (11) lemahnya partisipasi; (12) besarnya beban kependudukan yang disebabkan oleh besarnya tanggungan keluarga; (13) tata kelola pemerintahan yang buruk yang menyebabkan inefisiensi dan inefektivitas dalam pelayanan publik, meluasnya korupsi dan rendahnya jaminan sosial terhadap masyarakat.

Etos dan mentalitas turut berkontribusi dalam masalah kemiskinan di Indonesia. Pola pikir dan mental suka gratisan menjadi salah satu faktor kultural. Kemiskinan kultural dari pandangan hidup dan sikap yang telah membudaya dalam bentuk tidak punya etos kerja yang kuat untuk memperbaiki hidup. "Nrimo ing Pandum, Ono dino ono upo"

Berdasarkan kajian dari Dewan Riset Daerah (DRD) Jawa Timur tahun 2017, terdapat 4 tantangan penanggulangan kemiskinan yaitu tingkat di atas nasional, jumlah penduduk miskin terbesar nasional, indeks kedalaman kemiskinan di atas nasional dan indeks keparahan kemiskinan di atas nasional.

Secara peringkat pada maret 2017 tingkat kemiskinan Provinsi Jawa Timur berada pada peringkat 16 nasional dengan prosentase 16,6 persen dari tingkat nasional. Era otonomi memberi kewenangan kepada daerah dalam pengentasan kemiskinan. Tetap ada koordinasi dengan negara. Bagaimana peran pemerintah pusat saat ini?

Negara hadir dalam upaya pengentasan kemiskinan melalui berbagai strategi dan pemangku kebijakan. Salah satunya adalah Kementerian Sosial (Kemensos). Melalui berbagai program telah diupayakan pemberian jaminan sosial kepada kelompok spesifik. Keluarga miskin terutama ibu hamil, anak, penyandang disabilitas, dan lanjut usia menjadi prioritas dalam peningkatan standar hidup dalam basis keluarga.

Sumber daya manusia yang berkualitas tidak lepas dari peran keluarga sebagai garda depan dalam pengasuhan dan pendidikan seorang anak. Lantas bagaimana dengan keberadaan keluarga yang masuk dalam indikator kemiskinan. Kementerian Sosial menerapkan indikator tertentu melalui Program Fakir Miskin (PFM), Penyaluran Bantuan Sosial Program Keluarga Harapan  (PKH) dan Bantuan Sosial Beras Sejahtera (Bansos Rastra).

Mewujudkan keluarga sejahtera dapat dilakukan tidak hanya melalui bantuan dan jaminan sosial. Perlu peningkatan keberdayaan sosial-ekonomi rumah tangga miskin. Pengembangan kewirausahaan, pemberdayaan potensi berbasis sumber daya lokal, pelatihan ketrampilan dapat menjadi strategi agar rumah tangga miskin dapat keluar dari kemiskinan. Tentu saja perlu didukung pada masalah pasca produksi dan pemasaran.

Tulisan ini secara khusus menyoroti Program Keluarga Harapan (PKH). Salah satu program yang menjadi andalan dalam pengentasan kemiskinan di Indonesia melalui basis keluarga. Program pemberian bantuan sosial bersyarat kepada Keluarga Miskin yang ditetapkan sebagai pihak penerima.

Pencatatan dan kriteria pihak yang menjadi penerima telah diatur dengan seksama. Hak KPM PKH berdasarkan Permensos No.1 Tahun 2018 tentang Program Keluarga Harapan Pasal 6 berupa bantuan sosial, pendampingan, pelayanan di fasilitas kesehatan, pendidikan dan/atau kesejahteraan sosial dan Program bantuan komplementer di bidang kesehatan, pendidikan, subsidi, energi, ekonomi, perumahan, dan pemenuhan kebutuhan dasar lainnya.

Permasalahannya adalah bagaimana dengan respon masyarakat sendiri?. Ada beberapa keresahan dari penulis terkait pelaksanaan PKH. Pertama, tidak jauh dari Bantuan Langsung Tunai (BLT) program ini masih disinyalir menimbulkan ketergantungan. Keberadaan tenaga pendamping sebagai pengawas sekaligus fasilitator perlu dilakukan monitoring dan evaluating secara komprehensif. Tidak hanya sekadar menjadi formalitas tapi perlu totalitas.

Kedua, sanksi yang kurang tegas. Sanki berupa penangguhan atau penghentian bansos PKH kepada penerima manfaat yang tidak memenuhi kewajiban. Asumsinya penangguhan atau penghentian bantuan tidak jauh berbeda dengan berhenti membayar tunggakan kredit motor. Motor disita sementara sudah beberapa waktu menggunakan motor tersebut. Hal ini rawan terjadi pada PKH jika kurang pembenahan sanksi yang telah ada.

Untuk itu perlunya kajian ulang terkait sanksi dengan melibatkan tokoh masyarakat/adat dan pelibatan hukum adat jika hukum tersebut masih diberlakukan di daerah itu. Ketiga, tujuan dasar Program Keluarga Harapan (PKH) adalah memutus rantai kemiskinan keluarga Indonesia agar mereka dapat hidup sehat, sejahtera, dan berpendidikan.

Rantai yang terentang dengan kencang dengan didasari oleh nilai yang telah mendarah daging dan mentalitas dalam bentuk ketergantungan, sikap pasrah pada nasib dan kurang orientasi kedepan.  Itulah pentingnya dilakukan pembenahan dalam pola asuh dan pendidikan.

Slogan yang telah melegenda: Rajin Pangkal Pandai, Malas Pangkal Bodoh, perlu diwacanakan pada  anak-anak KPM PKH. Tenaga pendamping PKH perlu dipacu menjadi pejuang literasi melalui pengadaan buku. Tenaga pendamping juga perlu banyak membaca tentang kisah inspiratif, tokoh besar yang bisa bangkit dari keterpurukan. 

Diharapkan dapat menimbulkan ketertarikan dan inisiatif dari anak-anak KPM PKH mengikuti jejak tokoh-tokoh inspiratif tersebut. Pandangan mereka mesti diarahkan jauh kedepan. Wawasan mereka perlu diperluas.

Merujuk pada situs resmi PKH Kemensos terkait prestasi PKH dalam memutus rantai kemiskinan prestasi anak-anak KPM PKH terbatas pada bidang akademik, olahraga, bidik misi dan beasiswa luar negeri serta prestasi di bidang sains. Prestasi dalam dunia literasi juga penting. Anak-anak KPM PKH juga perlu perlu dibimbing dan diinisiasi untuk menjadi pejuang literasi.

Pengadaan buku, perpustakaan keliling khusus untuk anak-anak KPM PKH, workshop dan kelas menulis menjadi strategi yang dapat dilakukan. Tenaga pendamping PKH diharapkan dapat berperan aktif dalam melakukan fasilitasi literasi. Tidak hanya gugur kewajiban seperti yang tertera dalam perjanjian atau surat kontrak awal. Tapi perlu melakukan sesuatu agar apa yang telah diperbuat dapat member kesan positif yang inspiratif. Indonesia kaya tidak hanya potensi alam, tapi berlimpah sosok inspiratif yang menjadi pejuang literasi.

Sebut saja Ridwan Sururi bersama kuda kesayangannya yang bernama Luna dari lereng Gunung Slamet, Fransiskus Xaverius Sutopo dengan becaknya di Jogjakarta dan Muhammad Fauzi dari Sidoarjo.  Ketiga tokoh ini adalah contoh dari sekian banyak orang Indonesia yang peduli dengan pengembangan literasi di tanah air. Jika mereka bisa, kenapa tenaga pendamping bansos PKH tidak bisa?.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun