Mohon tunggu...
roihatuz zahro
roihatuz zahro Mohon Tunggu... Mahasiswa Universitas Negeri Malang

Saya hanya seorang yang suka membaca novel romance dan mendengarkan musik.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Jejak Sejarah Tradisi Meriam Karbit: Warisan Budaya dalam Menyambut Bulan Suci Ramadhan di Kota Pontianak

7 April 2025   03:01 Diperbarui: 7 April 2025   03:01 64
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Indonesia merupakan negara yang kaya akan tradisi dan budaya pada setiap daerahnya baik dalam bulan-bulan biasa maupun bulan suci Ramadhan. Tradisi-tradisi ini mencerminkan beragam dimensi kehidupan sosial, meliputi upacara adat, ekspresi kesenian, hingga praktik ritual keagamaan yang secara turun-temurun dilestarikan oleh masyarakat. Salah satu bentuk tradisi tersebut adalah pelaksanaan Meriam Karbit yang secara khas berlangsung di Kota Pontianak. Awalnya Meriam karbit digunakan sebagai alat pertahanan pada masa Kesultanan Pontianak. Berdasarkan beberapa sumber, tradisi ini dimulai ketika Syarif Abdurrahman Al Kadri dan rombongannya menyesuri Sungai Kapuas dan Sungai Landak, mereka menghadapi gangguan mistia yang konon menghalangi perjalanan. Untuk mengatasi gangguan yang diyakini dari makhluk halus, Syarif Abdrruhman melepaskan tembakan meriam kearah delta. Tindakan ini dipercaya berhasil meredakan gangguan tersebut dan membuka jalan bagi pendirian pemukiman baru.

Tradisi Meriam Karbit di Pontianak memainkan peran signifikan dalam kehidupan sosial keagamaan masyarakat, khususnya selama bulan Ramadhan. Diperkirakan mulai berkembang sekitar tahun 1900-an yang pada masa itu dentuman meriam berfungsi sebagai penanda waktu berbuka puasa, menggantikan peran alat komunikasi modern dengan memberikan isyarat akustik bagi masyarakat unttuk melaksanakan ibadah maghrib. Meriam karbit terbuat dari bahan-bahan sederhana, namun pembuatannya memerlukan ketelitin dan pengalaman. Awalnya meriam ini dibuat menggunakan batang kayu kelapa, namun dikarenakan batang kayu kelapa cepat rapuh dan hanya bisa digunakan satu kali, masyarakat beralih menggunakan kayu leban yang mampu menahan tekanan ledakan yang kuat. Batang kayu ini dilubangi bagian Tengah untuk menampung bahan utama berupa kalsium karbida, atau yang dikenal sebagai batu karbit. Ketika karbit bereaksi dengan air, terbentuk gas asetilena yang bersifat mudah terbakar. Gas ini kemudian dinyalakan menggunakan sumber api, menghasilkan ledakan kuat yang memunculkan suara menggelegar.

Tradisi ini biasanya dilakukan menjelang berbuka puasa atau pada malam-malam ganjil di sepuluh hari terakhir Ramadhan. Suasana di tepian Sungai Kapuas akan dipenuhi oleh deretan meriam yang berjajar rapi, dan warga dari berbagai penjuru kota akan datang beramai-ramai menyaksikannya. Seiring berkembangnya zaman, tradisi ini bukan hanya dijadikan sebagai simbol keagamaan tapi berubah menjadi simbol perayaan hiburan yang dijadikan menjadi festival tahunan oleh pemerintah Kota Pontianak. Pada tahun 2010 lalu tradisi Meriam Karbit Pontianak telah mendapat pengakuan dari Museum Rekor Indonesia sebagai parade Meriam Karbit terbanyak dan menjadi satu satunya yang ada di dunia dengan jumlah 150 meriam dengan 31 kelompok yang diikut sertakan. Bahkan, pada tahun 2014, tradisi ini telah diajukan sebagai Warisan Budaya Takbenda oleh Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. Langkah ini bertujuan agar generasi muda lebih mengenal dan mencintai warisan leluhur mereka sendiri.

Walaupun tradisi Meriam Karbit memiliki nilai budaya yang tinggi dan menjadi bagian penting dari identitas lokal, pelaksanaannya tetap memerlukan perhatian khusus terhadap aspek keselamatan dan ketertiban masyarakat. Untuk itu, pemerintah kota telah menetapkan regulasi yang ketat terkait waktu dan lokasi pelaksanaan tradisi ini. Umumnya, meriam hanya diperbolehkan dinyalakan di area tertentu, seperti tepian Sungai Kapuas, yang telah dilengkapi dengan standar keamanan yang memadai. Pendekatan ini bertujuan untuk memastikan bahwa pelestarian tradisi dapat berjalan selaras dengan perlindungan terhadap keselamatan publik. Sebab, tidak dapat dipungkiri bahwa penggunaan meriam berbasis tekanan gas, apabila dilakukan secara tidak terkontrol, berpotensi menimbulkan risiko yang membahayakan.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun