Mohon tunggu...
rohmad
rohmad Mohon Tunggu... Essada

Sebagai seorang praktisi yang mendedikasikan diri pada dunia pendidikan dan seni, semangat adalah suluh yang tak pernah padam dalam setiap denyut aktivitas saya. Di tengah padatnya rutinitas mengajar dan segala tanggung jawab profesional yang diemban, saya meyakini bahwa hidup adalah sebuah kanvas luas yang perlu diisi dengan warna-warna kegembiraan dan ekspresi diri. Maka, di sela-sela jeda dan ruang waktu yang tercipta, saya melarikan diri ke dalam dunia hobi yang begitu saya cintai. Ada semesta tersendiri yang terbuka saat kuas menari di atas kanvas, melukiskan imajinasi dan emosi dalam goresan warna. Setiap lukisan adalah cerita yang tak terucap, sebuah refleksi dari pengamatan dan perasaan. Tak hanya itu, tangan ini juga gemar menciptakan keindahan yang lebih nyata: merancang taman-taman mungil yang menjadi oase ketenangan, membentuk ornamen-ornamen unik yang menghidupkan sudut ruangan, dan merangkai berbagai kerajinan tangan yang sarat makna. Setiap karya adalah manifestasi dari energi kreatif yang tak pernah habis. Lebih dari sekadar hobi visual dan kriya, jiwa saya juga terpanggil untuk menyelami samudra kata. Menulis adalah cara saya bernapas, merajut gagasan, dan berbagi perspektif. Dari benak ini lahir beragam karya sastra: puisi-puisi yang melukiskan rindu dan renungan, geguritan yang merawat keindahan bahasa Jawa, pantun-pantun ceria yang menebar senyum, hingga cerpen-cerpen yang mengisahkan fragmen kehidupan manusia dengan segala kompleksitasnya. Setiap bait, setiap kalimat, adalah upaya untuk menangkap esensi, mengabadikan momen, dan menyampaikan pesan dari hati ke hati. Bagi saya, pendidikan dan seni adalah dua sisi mata uang yang tak terpisahkan. Keduanya adalah jalan untuk menumbuhkan kepekaan, kreativitas, dan empati. Melalui pendidikan, saya mencetak generasi; melalui seni, saya menginspirasi dan terus belajar untuk menjadi pribadi yang utuh, yang tak pernah berhenti berkarya dan menebar manfaat.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Dari Tumpukan Rosok Menuju Jas Putih

29 Juli 2025   17:26 Diperbarui: 29 Juli 2025   17:45 80
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saat pengumuman SNMPTN tiba, Nurhasanah menjerit histeris....."Alhamdulillah ya Allah....bapaaaaak....aku kelompok pak! " Ia diterima di Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro, Semarang. Pak Jumin tak mengerti sepenuhnya bagaimana sistem seleksi itu bekerja. Tapi saat putrinya memeluknya sambil menangis, ia tahu satu hal: mimpinya sedang terwujud.

"Bapak cuma bisa antar sampai gerbang," katanya kala itu, mengantarkan Nurhasanah ke kos-kosan dengan sepeda motor tua pinjaman tetangga. "Selebihnya, kamu yang harus berjuang." Katanya. "Nduk..... Welingku.. Ojo lali sholat, bar sholat terus ngaji... Lagi sinau....! " Kata pk Jimin menasehati anaknya. "InsyaAllah dunia akherat... Awakmu sukses nduk.....! " Sahutnya. " Njih... Pak.... Maturnuwun doa lan pangestu nipun...! " Jawab Nurhasanah sambil mencium tangan bapaknya. 

Antara Kos, Online Shop, dan Perjuangan Bertahan

Kehidupan kuliah tidak semudah bayangan. Biaya hidup di Semarang kerap kali membuat Nurhasanah kebingungan, apalagi saat harus membayar iuran listrik dan air kontrakan. Suatu ketika, saat hampir tidak sanggup membayar uang kos, ia memberanikan diri mengutarakan kesulitannya kepada pemilik kontrakan, seorang ibu paruh baya yang tinggal bersebelahan dengan anaknya yang juga mahasiswa.

Gambar ilustrasi dibuat oleh Canva desain
Gambar ilustrasi dibuat oleh Canva desain

Alih-alih diusir, ibu pemilik kontrakan justru tersenyum. "Kalau kamu mau bantu-bantu bersihin rumah dan bantu jaga adik saya yang difabel, kamu boleh tetap tinggal. Bayarnya nanti-nanti saja." Sejak saat itu, Nurhasanah pun membantu pekerjaan rumah tangga, menyapu halaman, mencuci piring, bahkan menjaga anak si ibu kost yang duduk di bangku SMP.

Tak cukup sampai di situ, Nurhasanah melihat peluang lain: membantu teman kosnya yang menjual barang-barang kecantikan branded secara online. Ia ikut mempromosikan, mengelola pesanan, dan memanfaatkan media sosial untuk menjangkau pembeli. Tak disangka, jualan itu cukup membantu biaya makannya sehari-hari.

"Sambil belajar tentang tubuh manusia, aku belajar juga tentang bagaimana hidup mandiri," ujarnya suatu kali. Dari menjajakan serum wajah dan lip tint, Nurhasanah mampu membeli buku, pulsa internet, bahkan sedikit demi sedikit menabung.

Ketika Jas Putih Itu Disematkan

Delapan tahun kemudian, pada sebuah pelantikan dokter muda, seorang gadis berdiri dengan bangga. Namanya kini disandang dengan gelar di belakangnya: dr. Siti Nurhasanah. Di antara kerumunan keluarga yang membawa bunga dan kamera, tampak seorang lelaki tua berdiri sendiri, memeluk helm dan topi capingnya. Ia hanya tersenyum tanpa kata.

Gambar ilustrasi dibuat oleh Canva desain
Gambar ilustrasi dibuat oleh Canva desain

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun