Bagian 4: Di Ujung Perasaan
Sejak hari itu, Pak Adi dan Bu Rinda tetap bekerja sama seperti biasa. Namun kini ada batas yang mereka sepakati tanpa perlu diucapkan. Pak Adi memilih menyibukkan diri dalam kegiatan sosial sekolah. Ia mulai membina ekstrakurikuler seni lukis, bahkan membuat komunitas belajar untuk anak-anak kurang mampu di desanya.
Meskipun perasaan itu tetap tinggal, ia belajar untuk menjadikannya kekuatan, bukan kelemahan. Rasa itu berubah menjadi semangat, menjadi nyala kecil yang tak lagi menyakiti, tapi justru menguatkan.
Dan di suatu pagi, saat murid-murid menyambutnya dengan tawa dan peluk, Pak Adi tersenyum---bukan karena perasaannya terbalas, tapi karena ia tahu, ia telah menjadi orang yang tetap setia mencintai dalam diam, dan tetap memberi walau tak pernah menerima.
Hari-hari berlalu. Musim hujan telah berganti dengan musim kemarau. Pohon di halaman sekolah kembali menggugurkan daun-daun kering, seolah mewakili sesuatu yang telah lama gugur pula di hati Pak Adi.
Ia mulai terbiasa hidup dengan diamnya. Tak berharap lebih dari kebersamaan, hanya ingin melihat Bu Rinda tetap tersenyum, tetap ceria bersama murid-muridnya.
Namun suatu hari, datang sepucuk surat dalam amplop coklat ke rumah kontrakan Pak Adi. Tanpa nama pengirim, hanya tertulis:
Untuk: Bapak Adi Prasetya
Dari seseorang yang mengenal Anda lebih dalam dari yang Anda kira.
Pak Adi membukanya dengan hati-hati. Surat itu ditulis tangan, rapi, dengan tinta hitam.