Bagian 1: Di Balik Senyum Letih
Di sebuah desa kecil di lereng perbukitan, berdirilah SD Negeri yang sederhana, penuh suara tawa anak-anak dan dedaunan yang bergoyang tenang ditiup angin pagi. Di situlah Pak Adi mengajar, seorang guru honorer yang hidupnya seperti matahari pagi: bersinar meski sering tak disadari kehadirannya.
Setiap hari, Pak Adi datang lebih awal. Bukan karena ingin tampil sempurna, tapi karena ia harus menyapu kelasnya sendiri, menata bangku, dan kadang mengerjakan tugas guru lain yang belum sempat selesai. Ia tak pernah mengeluh, meskipun untuk sekadar datang ke sekolah, ia sering harus menggadaikan KTP agar bisa membeli bensin motor tuanya yang sering mogok.
Seragamnya lusuh, kancing baju kadang sudah tak lengkap, tapi senyumnya tetap ada untuk murid-muridnya. "Semangat ya, Nak. Jangan seperti Bapak, sekolahmu harus tinggi," ucapnya pelan pada seorang anak yang tampak murung di pojok kelas.
Di sore hari, Pak Adi berganti profesi menjadi buruh cat. Kadang mengecat pagar rumah, toko, hingga bangunan sekolah lain di luar desa. Ia pernah jatuh dari tangga saat mengecat tembok lantai dua. Kakinya terkilir, namun tetap memaksakan diri datang ke sekolah esok paginya.
Dalam kesunyian perjuangan itu, hadir sosok lembut bernama Bu Rinda—guru kelas 2 yang baru dua tahun mengajar. Wajahnya selalu ceria, tutur katanya lembut, dan ada sesuatu dalam sorot matanya yang hangat. Ia sering memperhatikan Pak Adi dari jauh, sesekali menyelipkan roti dan air mineral di atas meja Pak Adi saat istirahat.
“Pak Adi, tadi saya buatkan bubur kacang hijau. Bapak belum sarapan, kan?” katanya suatu pagi sambil menyodorkan termos kecil dan senyum tulus.
Pak Adi bingung. Malu. Matanya menunduk, tapi hatinya hangat seperti termos yang dipegangnya.
“Wah... matur nuwun, Bu. Maaf, merepotkan...” ucapnya canggung.
“Tidak merepotkan, Pak. Bapak terlalu baik untuk dibiarkan lapar.”