Mohon tunggu...
rohmad
rohmad Mohon Tunggu... Essada

Sebagai seorang praktisi yang mendedikasikan diri pada dunia pendidikan dan seni, semangat adalah suluh yang tak pernah padam dalam setiap denyut aktivitas saya. Di tengah padatnya rutinitas mengajar dan segala tanggung jawab profesional yang diemban, saya meyakini bahwa hidup adalah sebuah kanvas luas yang perlu diisi dengan warna-warna kegembiraan dan ekspresi diri. Maka, di sela-sela jeda dan ruang waktu yang tercipta, saya melarikan diri ke dalam dunia hobi yang begitu saya cintai. Ada semesta tersendiri yang terbuka saat kuas menari di atas kanvas, melukiskan imajinasi dan emosi dalam goresan warna. Setiap lukisan adalah cerita yang tak terucap, sebuah refleksi dari pengamatan dan perasaan. Tak hanya itu, tangan ini juga gemar menciptakan keindahan yang lebih nyata: merancang taman-taman mungil yang menjadi oase ketenangan, membentuk ornamen-ornamen unik yang menghidupkan sudut ruangan, dan merangkai berbagai kerajinan tangan yang sarat makna. Setiap karya adalah manifestasi dari energi kreatif yang tak pernah habis. Lebih dari sekadar hobi visual dan kriya, jiwa saya juga terpanggil untuk menyelami samudra kata. Menulis adalah cara saya bernapas, merajut gagasan, dan berbagi perspektif. Dari benak ini lahir beragam karya sastra: puisi-puisi yang melukiskan rindu dan renungan, geguritan yang merawat keindahan bahasa Jawa, pantun-pantun ceria yang menebar senyum, hingga cerpen-cerpen yang mengisahkan fragmen kehidupan manusia dengan segala kompleksitasnya. Setiap bait, setiap kalimat, adalah upaya untuk menangkap esensi, mengabadikan momen, dan menyampaikan pesan dari hati ke hati. Bagi saya, pendidikan dan seni adalah dua sisi mata uang yang tak terpisahkan. Keduanya adalah jalan untuk menumbuhkan kepekaan, kreativitas, dan empati. Melalui pendidikan, saya mencetak generasi; melalui seni, saya menginspirasi dan terus belajar untuk menjadi pribadi yang utuh, yang tak pernah berhenti berkarya dan menebar manfaat.

Selanjutnya

Tutup

Cerbung

Serpihan Rindu Yang Hilang

4 Juli 2025   13:42 Diperbarui: 4 Juli 2025   10:54 57
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar dari galeri astalima pro dengan desain canva

Bagian 1: Di Balik Senyum Letih

Di sebuah desa kecil di lereng perbukitan, berdirilah SD Negeri yang sederhana, penuh suara tawa anak-anak dan dedaunan yang bergoyang tenang ditiup angin pagi. Di situlah Pak Adi mengajar, seorang guru honorer yang hidupnya seperti matahari pagi: bersinar meski sering tak disadari kehadirannya.

Setiap hari, Pak Adi datang lebih awal. Bukan karena ingin tampil sempurna, tapi karena ia harus menyapu kelasnya sendiri, menata bangku, dan kadang mengerjakan tugas guru lain yang belum sempat selesai. Ia tak pernah mengeluh, meskipun untuk sekadar datang ke sekolah, ia sering harus menggadaikan KTP agar bisa membeli bensin motor tuanya yang sering mogok.

Seragamnya lusuh, kancing baju kadang sudah tak lengkap, tapi senyumnya tetap ada untuk murid-muridnya. "Semangat ya, Nak. Jangan seperti Bapak, sekolahmu harus tinggi," ucapnya pelan pada seorang anak yang tampak murung di pojok kelas.

Di sore hari, Pak Adi berganti profesi menjadi buruh cat. Kadang mengecat pagar rumah, toko, hingga bangunan sekolah lain di luar desa. Ia pernah jatuh dari tangga saat mengecat tembok lantai dua. Kakinya terkilir, namun tetap memaksakan diri datang ke sekolah esok paginya.

Dalam kesunyian perjuangan itu, hadir sosok lembut bernama Bu Rinda—guru kelas 2 yang baru dua tahun mengajar. Wajahnya selalu ceria, tutur katanya lembut, dan ada sesuatu dalam sorot matanya yang hangat. Ia sering memperhatikan Pak Adi dari jauh, sesekali menyelipkan roti dan air mineral di atas meja Pak Adi saat istirahat.

“Pak Adi, tadi saya buatkan bubur kacang hijau. Bapak belum sarapan, kan?” katanya suatu pagi sambil menyodorkan termos kecil dan senyum tulus.

Pak Adi bingung. Malu. Matanya menunduk, tapi hatinya hangat seperti termos yang dipegangnya.

“Wah... matur nuwun, Bu. Maaf, merepotkan...” ucapnya canggung.

“Tidak merepotkan, Pak. Bapak terlalu baik untuk dibiarkan lapar.”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun