Mohon tunggu...
Rofinus Emi Lejap
Rofinus Emi Lejap Mohon Tunggu... Administrasi - Penyakit dan kemiskinan tidak mampu memenjarakan imajinai dan gelora pengembangan dalam batinku. Waktu terus bergerak maju dan tidak pernah akan kembali dan selalu menampilkan pemandangan baru.

Semua orang diciptakan baik adanya tetapi hati berbeda karena hatinurani.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Saya Tiba di "Kota Siswa"

2 Mei 2018   14:45 Diperbarui: 2 Mei 2018   15:08 375
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sebagai pelajar di sebuah STM yang jauh di selatan Indonesia, yaitu di kota karang Kupang, NTT, bangga pada suatu hari di 1981 mendapat kiriman majalah dari Yogyakarta. 

Nama majalah itu sesuai dengan status saya sebagai seorang siswa, yaitu Majalah Siswa, yang diterbitkan oleh Yayasan Taman Siswa Yogyakarta. Nama dan alamat majalah itu kalau tidak salah saya ketahui dari iklan majalah Intisari, atau mungkin majalah Basis. 

Pendek kata, saya mencatat dan membuat surat ke alamat majalah itu, dan dua minggu kemudian saya mendapatkan kiriman "Majalah Siswa" yang diantar ke sekolahku, STM FLOBAMOR oleh tukang pos.

Ternyata surat saya yang amat sederhana itu mendapat tanggapan positif dari redaktur pelaksana, karakter pendidik sejati. Isi dari majalah itu tentang ajaran Ki Hajar Dewantara yang terkenal, yaitu Ing ngarsa sung tuladha, Ing madya mangun karsa, dab Tut wuri handayani disamping banyak artikel lain yang semuanya sangat berbobot. Pantas saja Yogyakarta mendapat predikat istimewa sebagai kota pelajar, bagi saya yang kala itu baru datang dari Makasar, menyadari bahwa karakter kesiswaan yang begitu mendarahdaging dalam diri setiap orang Jogja tentu melalui pembentukan serta pembiasaan secara turun-temurun.

Kalimat Tut wuri handayani sudah umum karena menjadi slogan dinas pendidikan, yang sering saya baca sejak di kota Kupang. Karena kebetulan tempat tinggalku ada di belakang Kantor Dinas Pendidikan NTT. Ketiga semboyan dari Ki Hajar Dewantara itu bila dipahami serta dihayati oleh setiap orang yang berpendidikan, rasa-rasanya tidak akan pernah terjadi kerusuhan di negeri ini. Namun rupanya anggapan saya keliru.

Tahun 1998, setelah kerusuhan besar, saya mendapat surat undangan pernikahan seorang kawan di Saligaluh, Kulonproga, DIY. Kebetulan hari pernikahan itu hari kerja, maka saya tidak mungkin hadir, tetapi mengingat persahabatan selama beberapa waktu di kampus STFK, saya memutuskan untuk tetap datang dihari-hari sebelum hari istimewa itu, sebagai bentuk dukungan atas pernikahan mereka.

Dengan menumpang bus antarkota antarprovinsi sampailah saya di rumah keluarga bapak Koespriyanto di Banguntapan, Bantul. Beliau bekerja di Unika Atmajaya, tetapi bersedia menghantar saya ke alamat kawan di Samigaluh. 

Saya terperangah, karena pasca kerusuhan itu kota-kota menampakan 'wajah' terbakar serta porak-poranda. Tetapi pemandangan itu tidak terlihat di kota Yogyakarta. Kata pak Koes, Sri Sultan berdiri di atas sebuah bak terbuka dan menghimbau masyarakat untuk tidak berdemontasi, kecuali beberapa bangunan yang sudah telanjur terbakar di jalan Solo.

Kepatuhan masyarakat kepada suara pemimpinnya, sebagai bukti penghayatan ajaran-ajaran yang bermartabat, yang sudah mendarahdaging di hati masyarakat. Namun kejadian MayDay 2018 oleh sekelompok orang, sungguh sangat mengotori kearifan orang Jogja Apakah ketiga ajaran Ki Hajar Dewantara sudah terhapus dari hati orang Jogja? Ataukah ada oknum 'dalang' kerusuhan yang memang mereka telahir dari organisasi atau ormas yang selalu menggunakan cara-cara non-manusiawi untuk mencapai tujuan politiknya?

Sebagai orang luar Jawa yang sangat mengagumi budaya dan relasi humanis orang Jawa, perkenankan saya menghimbau, jangan pilih orang yang ingin berkuasa tetapi menggunakan cara-cara yang tidak demokratis. Politik untuk tujuan kebaikan mestinya ditempuh melalui cara-cara berbadab, bukan sebaliknya. Keteladanan (sung tulodho), semangat serta kehendak yang positif, (mangun karsa),  dan dorongan kekuatan untuk tetap di jalan yang baik (hadayani), wajib terus dihidupi.

*** 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun