Mohon tunggu...
Rofi Lutfiani
Rofi Lutfiani Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa S1 Ilmu Pemerintahan FISIP Undip

Sapere aude, incipe!

Selanjutnya

Tutup

Politik

Kritisisme Politik dan Dilema Kebebasan Manusia Modern dalam Menyuarakan Pendapat

13 Februari 2021   12:53 Diperbarui: 13 Februari 2021   20:09 715
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: indonews.id

Sinyal Negatif Ketidakberesan Pemerintah Pusat

Mengingat beberapa fenomena yang terjadi khususnya pada periode pemerintahan kedua Presiden Joko Widodo belakangan ini, tampaknya sistem politik pemerintahan Indonesia mengalami turbulensi baik yang dikausalitaskan dengan pandemi ataupun karena persoalan internal birokrasi itu sendiri. Masih lekat dalam ingatan kita tatkala pejabat-pejabat setingkat menteri yang seharusnya menjadi perpanjangan tangan pemerintah untuk melayani masyarakat justru tertangkap KPK karena kasus korupsi yang sangat merugikan rakyat.

Sebut saja mantan Menteri Kelautan dan Perikanan, Edhy Prabowo, yang terjerat kasus suap ekspor benih lobster dan telah ditetapkan sebagai tersangka terkait perizinan tambak dan usaha pengelolaan perikanan. Kasus ini memantik perhatian publik yang begitu luas, sebab pada periode sebelumnya kondisi Kementerian KKP yang dinahkodai oleh Susi Pudjiastuti meraih pencapaian dan feedback positif dari khalayak ramai. Tidak hanya berdampak pada elektabilitas pemerintahan, tetapi kondisi ini juga sekaligus mempengaruhi preferensi publik terhadap partai asal Edhy Prabowo, yaitu Gerindra. Tidak heran jika kasus ini dipandang dalam konteks yang lebih kritis turut menyeret citra sejumlah petinggi Gerindra termasuk Prabowo Subianto selaku Menteri Pertahanan yang masih satu moyang partai dengan Edhy Prabowo dan dipertanyakan sikap tegasnya menanggapi kasus itu.

Kemudian, yang tidak kalah hebohnya dalam selang waktu relatif singkat KPK berhasil meringkus kembali kasus korupsi dana bantuan sosial. Mirisnya, tersangkanya adalah Menteri Sosial yang menjabat saat itu yakni Juliari Batubara. Data yang dikeluarkan KPK memperhitungkan Juliari dan sederet nama lainnya menyunat dana sebesar Rp10.000 per paket bansos. Akan tetapi, dalam data lainnya yang dikeluarkan oleh MAKI (Masyarakat Anti-Korupsi Indonesia), Boyamin Saiman, menyebut dana yang dikorupsi diduga mencapai RP33.000 per paket. Perbedaan versi ini bukanlah topik utama yang diperbincangkan publik, namun lebih kepada bagaimana kasus ini semakin menguatkan delegitimasi masyarakat kepada pemerintah. Sontak saja kedua kasus korupsi besar itu turut menggemakan jagad sosial media sebagai salah satu sarana penyampaian kritik publik. Berbagai cuitan di twitter bermunculan hingga beberapa kurun waktu terakhir hashtag “Madam Bansos” dan “King Maker Bansos” menduduki trending  yang bertengger di sosial media maupun narasi berita nasional.

Reaksi Publik : Antara Hasrat Menyampaikan Kritik dan Kekhawatiran Dipidanakan

Baru-baru ini jagad maya dan media tulis serta media elektronik sedang dihebohkan oleh pernyataan Presiden Joko Widodo yang mengajak masyarakat agar turut aktif menyampaikan kritik di kala kondisi pandemi seperti ini yang serba sulit agar kinerja birokrasi juga mengalami perbaikan dan peningkatan. Sederet warganet menanggapi statement ini dengan beragam reaksi, namun yang paling dominan adalah mempermasalahkan UU ITE yang justru kerap menjadi boomerang bagi kritikus. Kebebasan berpendapat sebagai bagian dari HAM yang tertuang dalam Pasal 28 UUD N RI Tahun 1945 menyatakan bahwa, “Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang”. Jaminan ini menjadi dasar yang kuat bagi setiap individu untuk turut andil menjadi warga negara yang kritis.  Tingkat kritisisme masyarakat dalam menyikapi beberapa persoalan politik pemerintahan Indonesia sebenarnya telah mengalami fluktuasi terlebih pada era revolusi industri 4.0 dan society 5.0 dengan jaminan kemudahan akses serta perkembangan intelektual sumber daya manusianya.

Akan tetapi, yang jadi masalah adalah jaminan kebebasan berpendapat yang diberikan kerap kali disantap habis sejumlah pasal karet Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Terlebih pada Pasal 27 ayat  (3) tentang pencemaran dan Pasal 28 ayat (2) tentang ujaran kebencian. Kritik yang dilontarkan  sering berujung pada kasus dipenjarakan. Dilansir dari Kompas.com, tingkat penghukuman akibat terkena pasal UU ITE memiliki indeks yang cukup tinggi yakni sebanyak 744 perkara (96,8%) dengan tingkat pemenjaraan sebanyak 676 perkara (88%) pada kurun waktu 2016-2020.

Fakta menunjukkan bahwa indeks demokrasi Indonesia juga mengalami penurunan. Tanda kemunduran itu terlihat dari laporan tahunan The Economist Intellegence Unit (EIU) yang telah dikeluarkan baru-baru ini. Data menampilkan indeks demokrasi Indonesia terjun di peringkat ke 64 dunia dengan skor 6,3 di bawah Malaysia, Timor Leste, dan Filipina. Kemerosotan demokrasi ini disebabkan oleh tekanan terhadap kebebasan sipil, intimidasi yang menyasar kaum kritikus yang berseberangan dengan pemerintah, serta maraknya penangkapan dan juga kekerasan terhadap aktivis, masyarakat adat, ataupun mahasiswa. Suara-suara kritis yang terlontar sering diserang balik di ranah digital atau biasa kita kenal dengan buzzer. Hal ini menunjukkan semakin menguatnya otoritarianisme di negeri kita.

Kebebasan yang Bertanggungjawab

Kritisisme merupakan integral berharga dari nafas demokrasi. Adanya kritik menunjukkan bahwa seseorang merasakan injustice pada suatu kebijakan ataupun karena situasi yang dihadapkan. Logika sederhananya, orang yang mengalami ketidakadilan akan menuntut haknya sebagai pemenuhan dasar atas HAM dan juga mempertanyakan integritas serta kapabilitas birokrat negara dalam menjalankan fungsi dan wewenangnya. Pada situasi yang demikian ini, para pemangku kepentingan harusnya berfokus pada penyelesaian atas masalah yang dikritik bukan justru sibuk menyumpal mulut sang pengkritik. Inti dari demokrasi bukan semata-mata kompromi maupun rekonsiliasi, tetapi dinamika dan kompetisi juga merupakan bagian krusial yang tidak boleh diabaikan. Jika kritisisme dipaksa terus mati suri dengan mulut tersumpal, sama saja rezim ini ikut menggali kubur demokrasi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun