Berbahagialah, ketika kita menjadi salah satu bagian dari keluarga besar pencinta kuliner Indonesia. Mengapa? Sebab, ketika kita membeli makanan di sebuah warung , cafe, atau restoran, maka di dalamnya kita menjadi bagian dari entitas yang disebut penjual dan pembeli.
Lebih dari itu, hubungan yang terjalin pun sudah terbingkai dalam ikatan persaudaraan. Bukan lagi "kita puas, kita bayar", atau "tarif porsi sesuai permintaan lidah".
Maka, di saat "ikatan" penjual-pembeli sudah terlampaui, yang dalam prosesnya membutuhkan waktu lebih dari sehari, maka di saat itu pula kehadiran kita di warung langganan dirasakan menjadi sangat berarti bagi penjualnya.
Kedatangan kita begitu dinantikan. Kehadiran kita begitu dirindukan. Kita pun seolah menjadi bermakna dalam kehidupan. Ketidakhadiran kita seperti membuat ruang kosong, maka ketika kita kembali mencicipi kuliner yang itu juga dirindukan oleh lidah, maka klop-lah, antara kita dan penjualnya, ada ikatan simbiosis, mutualisme.
**
Cuplikan kalimat di atas adalah ungkapan perasaan pagi tadi (11/10/2014), ketika "bereuni" dengan salah seorang penjual kuliner yang sejak tahun 2009 menjadi langganan tetap dalam menu sarapan pagi.Â
Pecel Mak Yati, panganan pecel khas Kertosono-Nganjuk, Â yang warungnya menyewa lahan di Jemur Gayungsari gang II. Dari Graha Pena-Surabaya, kurang lebih arahnya 500 meter ke sebelah selatan.
Pertama kali menginjakkan kaki di Gedung Graha Pena bertinggi 21 lantai, lima tahun lalu itu, tak butuh waktu lama membuat lidah saya menjadi ketagihan dengan menu utama warung Mak Yati itu.Â
Panganan yang berbahan cacahan sayur yang disiram bumbu pecel khas Kertosono itu rasanya maknyus dengan tambahan ceplok telur, tempe goreng, plus peyek ikan teri.
Bahkan, sebelum sinar matahari menyembul di ufuk timur, para pekerja dari Graha Pena Surabaya menjalani rutinitas untuk bersarapan ria dan menjadi golongan pencinta Pecel. Â
Maklum, argumen mereka terbangun karena belum pernah merasakan cita rasa pecel yang tak hanya enak, namun juga menyehatkan.