Mohon tunggu...
Choirul Huda
Choirul Huda Mohon Tunggu... Wiraswasta - Kompasianer sejak 2010

Pencinta wayang, Juventini, Blogger. @roelly87 (www.roelly87.com)

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Narkoba dan Faktor "Kegalauan" Anak Muda

4 Maret 2014   20:30 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:15 215
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Narkoba? Siapa yang tidak mengenal benda haram tersebut. Pria dan wanita mulai dari anak kecil belasan tahun hingga dewasa. Serta yang terdapat di kawasan terpencil sekalipun pasti sudah sering mendengar kata “narkoba” yang merupakan akronim dari Narkotika dan Obat Terlarang.

Hanya, masyarakat di Indonesia, khususnya di Jakarta yang merupakan tempat tinggal saya baru sebatas “mengenal”, belum memahami. Sebab, meski mereka mengetahui dampak narkoba sangat berbahaya, baik itu untuk pribadi atau orang terdekat. Tetap saja, banyak yang mengonsumsi.

Terutama kalangan anak muda dan remaja yang memang sedang dalam masa transisi dan ingin mencoba-coba sesuatu yang baru. Apalagi, jika sedang “galau” alias dalam periode gelisah atau bingung. Baik itu sedang ada masalah dalam keluarga, sekolah, kampus, pertemanan, hingga pacaran. Tak jarang, mereka melampiaskannya dengan memakai narkoba.

Awalnya sih sedikit-sedikit. Tapi, seperti kata pepatah, lama-lama akan jadi bukit. Itu sempat terjadi di lingkungan sekitar saya yang memang kerap bermasalah dengan narkoba. Ibaratnya, mati satu tumbuh seribu. Mereka tak jera untuk memakai narkoba meski ada temannya yang tertangkap polisi hingga dipenjara. Mayoritas dari mereka baru kapok jika menyaksikan temannya itu “lewat”, alias meninggal karena overdosis.

Namun, kebanyakan dari masyarakat kita masih bingung dengan narkoba. Apa sih definisi tentang sesuatu yang disebut barang haram itu? Sekadar sharing, narkoba itu memang banyak ragamnya. Ada yang berbentuk obat semacam pil, serbuk, daun, permen, hingga yang tak berbentuk sekalipun. Masih ingat, dengan pulpen (pena) yang dulu ramai dibicarakan sebagai narkoba pada awal 2000-an?

Berdasarkan pengalaman saya, tentu bukan berarti saya pemakai atau bahkan pengguna. Melainkan pengalaman saya karena memiliki anggota keluarga (sepupu) yang mengonsumsi narkoba. Sayangnya, saat ini beliau sudah almarhum akibat overdosis. Dan, 14 Juni mendatang tepat diperingati sebagai 10 tahun kepergiannya.

*      *      *

Sakit tahu kalau sampai kita mengalami seperti itu. Yaitu, ada anggota keluarga yang meninggal dengan cara tidak normal. Tapi ya itu, semua terjadi akibat narkoba. Jika saya boleh menyebut, pintu masuk narkoba itu adalah rokok. Itu menurut pengilhatan saya dalam pergaulan sehari-hari dengan user (pengguna) narkoba hingga kelas pecandu.

Mungkin, persentasenya mencapai 99%. Alias, hampir semua pemakai narkoba diawali menghisap rokok. Terlebih bagi anak muda dan remaja. Menyelipkan rokok di tangan itu kesannya, “wah”, gimana gitu?

Tidak percaya? Coba lihat di sekeliling kita. Tidak perlu jauh-jauh, cukup di lingkungan rumah atau yang lebih ekstrem di Sekolah Menengah Pertama (SMP). Kita pasti bisa menyaksikan bagaimana pelajar yang masih bocah, alias bau kencur dengan bangganya menghisap rokok. Tidak hanya di luar halaman sekolah, melainkan juga di dalam!

Tentu, maksudnya di dalam itu di kantin atau toilet. Sebab, tidak mungkin juga, pelajar, apalagi yang masih SMP merokok di ruang guru. Bisa-bisa malah disuruh hisap satu bungkus sekaligus seperti yang dialami teman saya dahulu.

Nah, berawal dari merokok itu lama-lama seorang pelajar akan ketagihan dan mencoba sesuatu yang baru. Sesuatu yang baru? Apa itu? Yupz, “sesuatu” itu adalah Cannabis. Bahasa kerennya, ganja, gele, cimeng, atau mariyuana. Mulanya sih seorang pelajar yang baru kenal ganja akan dikasih gratis. Selinting, dua linting, hingga tiga linting.

Setelah itu, tentu yang memberi ganja itu ogah ngasih secara gratisan! Sebab, itu memang usaha mereka untuk menjerumuskan pelajar agar memakai ganja sebagai pelarian masalah atau bahkan gaya-gayaan. Setelah si pelajar itu sudah sekali mengisap terus ketagiihan, hingga akhirnya beli sendiri sampai setiap hari (ketergantungan).

Terus, salah siapa? Meminjam jawaban Cinta (Dian Sastro) kepada Rangga (Nicholas Saputra) dalam film Ada Apa Dengan Cinta (AADC) pasti ujung-ujungnya seperti ini: Salah gue, terus kalo lo ga punya temen itu juga salah gue? Salah temen-temen gue?

*      *      *

Nah, baru narkoba jenis ganja yang kelasnya ecek-ecek alias kasta terendah. Bagaimana kalau sudah mencapai level atas layaknya permainan Flappy Bird yang semakin ke depan kian sulit rintangannya. Seperti, sabu-sabu, ekstasi, putaw (heroin), morfin, hingga morfin yang ibaratnya dalam tinju disebut sebagai kelas berat!

Jika sudah terjangkit narkoba seperti itu, tentu jauh lebih sulit untuk sembuh. Pertengahan dekade 2000-an lalu, saya punya teman yang sudah menghabiskan ratusan juta hanya demi mengobati ketergantungan sama yang namanya putaw.

Saat itu, keluarganya yang memang eksportir busana sudah habis-habisan jual ini itu demi kesembuhan anak semata wayangnya. Mulai dari kios, properti dagangan, mobil, motor, hingga ke rentenir segala untuk mebiayai pengobatan. Baik itu ke pusat terapi, rehabilitasi, paranormal, hingga pesantren!

Akhirnya, setelah beberapa bulan bergelut dengan terapi yang sudah menghabiskan ratusan juta, temen saya itu akhirnya sembuh. Tapi, ya itu. Kondisinya sudah tidak seperti dulu lagi. Kata orangtuanya, psikis si anak ini (sekarang sudah menikah dan mempunyai anak) terganggu. Akibatnya sering labil dan bertindak tidak karuan karena, katanya sih, “otaknya” sudah kemakan!

Beruntung, berkat dukungan dari keluarga besarnya, teman saya itu berhasil pulih hingga seperti semula. Hanya, memang butuh waktu bertahun-tahun untuk mengembalikan kondisinya yang memang pecandu aktif menjadi normal. Itu kebetulan orangtuanya mampu dan selalu mendukung. Bagaimana kalau anak muda yang berasal dari keluarga berantarakan atau tinggal di jalan. Tentu jauh lebih sulit.

*      *      *

Berdasarkan pengalaman tersebut, saya sendiri berusaha memberi pemahaman kepada orang terdekat, seperti sepupu atau remaja di lingkungan rumah. Bahwa, mencegah itu lebih baik daripada mengobati. Lalu, pengguna narkoba lebih baik di rehabilitasi daripada di penjara.

Sebab, banyak kasus bahwa, user yang dipenjara pas keluar malah kian menjadi-jadi. Bahkan, tidak jarang, di penjara pun mereka bisa “dagang” dengan cara bekerja sama melalui sipir atau sebagainya.

Apalagi, ini sudah memasuki 2014 yang dicanangkan Badan Narkotika Nasional (BNN) sebagai tahun penyelamatan narkoba. Masak sih, ketika anak muda dari negara tetangga sudah berprestasi di dunia internasional melalui sepak bola, olimpiade fisika, musik, dan film. Eh, generasi muda kita malah ada yang masih telerdi pinggir jalan atau yang lebih parah saat diketemukan masyarakat dengan jarum suntik yang masih tertancap.

Kalau sudah seperti itu, pasti akan membuat orangtua menjadi sedih. Mungkin, dalam hati mereka berpikir, lebih baik ga usah ngelahirin tu anak daripada pas sudah besar malah membuat malu keluarga!

*      *      *

Tulisan ini dalam rangka mendukung Program BNN: 2014 sebagai Tahun Penyelamatan Pengguna Narkoba.

Referensi:
- BNN.go.id
- IndonesiaBergegas.com
- Dedihumas.BNN.go.id

*      *      *

Sebelumnya:
- Yuk, Hadiri Diskusi bersama BNN bertema 2014 Bebas Narkoba

*      *      *

- Jakarta, 4 Maret 2014

Mohon tunggu...

Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun