Oleh: Muhamad Rodin - Aktivis Pemuda Dari Pinggiran Negeri
Isu mafia migas dulu begitu lantang bergema di ruang publik. Ia menjadi simbol perlawanan terhadap ketimpangan pengelolaan sumber daya negara. Namun kini, narasi itu perlahan memudar. Padahal, sektor migas---khususnya distribusi BBM oleh anak usaha PT. Pertamina seperti PT. Patra Niaga---masih menyimpan banyak pertanyaan yang belum dijawab secara terbuka.
Bukan karena semua telah bersih, tapi karena perhatian publik telah bergeser, sementara transparansi masih belum menjadi budaya.
Menghilangnya Sorotan, Bukan Hilangnya Masalah
Sebagai entitas penting yang mengelola distribusi energi vital ke seluruh Indonesia, PT. Patra Niaga memainkan peran strategis. Namun belakangan ini, publik jarang sekali mendengar kabar atau laporan investigatif soal akuntabilitas dan efisiensi distribusi BBM yang dikelolanya.
Beberapa isu pernah mencuat---dari kelangkaan solar di daerah, sistem kuota subsidi yang rentan bocor, hingga dugaan permainan distribusi. Namun alih-alih diusut hingga tuntas, isu-isu tersebut perlahan hilang tanpa kejelasan. Bukan diselesaikan secara terbuka, melainkan diserap ke dalam diam.
Sebagai warga negara, kita tentu tidak sedang menuduh---tetapi justru bertanya:
Apakah sistem energi kita sudah cukup transparan dan akuntabel, terutama dalam sektor distribusi yang memegang hajat hidup rakyat banyak?
Demokrasi Energi: Konsep yang Terpinggirkan
Demokrasi energi bukan soal politik praktis. Ia menyangkut hak rakyat untuk tahu, terlibat, dan mendapatkan akses energi yang adil dan berkelanjutan. Jika distribusi BBM diserahkan sepenuhnya ke mekanisme tertutup, tanpa ruang partisipasi masyarakat sipil atau pengawasan independen, maka demokrasi energi menjadi sebatas jargon.
Ketiadaan informasi publik mengenai tata kelola energi---terutama oleh anak usaha negara---justru membuka ruang spekulasi dan ketidakpercayaan. Di sinilah negara harus hadir, bukan untuk menyalahkan, tapi untuk membuka.