Mohon tunggu...
robby januar
robby januar Mohon Tunggu... Mahasiswa

Saya sangat hobi menuli tentang review film

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Kita Nggak Lemah, Cuma Kelelahan: Literasi Media di Era Scroll Tanpa Henti

25 Juli 2025   07:40 Diperbarui: 25 Juli 2025   07:37 60
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi kelelahan digital akibat screen time berlebih. Foto oleh Freepik (freepik.com)

Kita Bukan Generasi Lemah

Pernah nggak sih kamu tiba-tiba ngerasa capek banget padahal belum ngapa-ngapain? Bangun tidur langsung buka HP, buka Instagram, TikTok, Twitter, lalu scroll-scroll tanpa arah. Tahu-tahu sore, kepala pusing, mood ancur, tapi tugas belum tersentuh. Terus kamu mikir: "Aku kenapa sih? Kok nggak produktif banget? Kok aku begini terus?"

Tenang. Kamu nggak sendirian. Dan lebih penting lagi: kamu bukan malas atau lemah. Mungkin kamu cuma kelelahan yang nggak kelihatan secara fisik, tapi efeknya nyata.

Dunia Digital yang Terus Memanggil

Kita hidup di era ketika notifikasi jadi suara latar hidup kita. Kalau HP kita diam sebentar aja, rasanya kayak ada yang kurang. Kita kejebak di dunia yang nggak pernah berhenti: berita terus muncul, konten terus update, orang terus bicara.

Menurut laporan We Are Social, rata-rata orang Indonesia menghabiskan lebih dari 8 jam sehari di internet. Itu satu shift kerja penuh. Dan dari angka itu, hampir separuhnya dihabiskan hanya untuk konsumsi media sosial.

Kita disuruh 'melek informasi', tapi nggak dikasih waktu buat mencerna. Semuanya serba cepat. Bahkan kecepatan jadi standar keberhasilan: siapa yang tahu duluan, siapa yang komen tercepat, siapa yang update paling viral.

Padahal, manusia itu bukan mesin. Otak kita bukan hard disk tanpa batas. Kita butuh jeda. Kita butuh waktu buat merenung, bukan cuma menerima.

Film seperti The Social Dilemma udah menggambarkan gimana algoritma bekerja: mereka bukan cuma menyajikan konten, tapi menjebak kita di dalamnya, bikin kita stay lebih lama, lebih lama, dan lebih lama lagi.

Kelelahan Mental yang Dianggap Sepele

Istilahnya: scroll fatigue. Kelelahan akibat terus-menerus mengonsumsi informasi tanpa henti. Sama seperti makan junk food terus-menerus, otak kita juga bisa 'keracunan' konten.

Bahkan berita-berita serius pun kadang bikin capek. Bayangin, satu jam pertama kamu baca soal perang, satu jam berikutnya drama artis, lalu komentar netizen, lalu potongan podcast yang isinya saling menyalahkan.

Itu bukan cuma information overload, tapi juga emotional overload. Kita dipaksa merasakan banyak hal dalam waktu singkat. Padahal kapasitas emosi kita terbatas.

Lebih parahnya lagi, ketika kita nggak ikut update, kita malah kena FOMO (fear of missing out). Akhirnya kita terus balik ke layar, lagi dan lagi, meskipun udah lelah. Siklusnya nggak berhenti.

Dan parahnya, dunia seolah nyuruh kita terus aktif. Terus update. Terus peduli. Terus produktif. Istirahat dianggap lemah. Slow down dianggap pemalas. Padahal... justru itulah yang kita butuhkan.

Pentingnya Literasi Media (dan Emosi)

Di sinilah pentingnya literasi media. Tapi bukan cuma bisa bedain hoaks atau fakta. Literasi media hari ini juga tentang mengelola cara kita berinteraksi dengan informasi.

Kapan kita perlu disconnect.

Konten seperti apa yang sebaiknya kita konsumsi.

Apa yang harus diabaikan demi kesehatan mental kita.

Siapa yang layak didengarkan, dan siapa yang sebaiknya kita unfollow.

Kita juga harus sadar: nggak semua "konten edukatif" itu sehat. Banyak juga akun-akun self-help yang sebenarnya malah bikin stres karena menekan kita buat jadi 'ideal version' dari diri sendiri. Yang kerja 24/7, yang hidupnya aesthetic, yang bahagia terus.

Literasi media juga butuh disandingkan dengan literasi emosi. Kita harus bisa nanya ke diri sendiri:

 "Apa aku beneran butuh tahu ini, atau cuma terbiasa aja?"

"Apa aku beneran seneng scroll ini, atau sebenernya lagi lari dari rasa kosong?"

Kita perlu belajar bilang, "Oke, hari ini cukup." atau "Nggak apa-apa ketinggalan berita, yang penting aku waras."

Self-Awareness: Nonton Film, Bukan Cuma Scroll

Kadang, istirahat terbaik itu bukan tidur atau rebahan. Tapi menonton sesuatu yang punya alur, yang bikin kita mikir, bukan cuma swipe-swipe lewat.

Film bisa jadi bentuk terapi mikro. Nggak harus berat. Kadang nonton ulang film favorit juga udah cukup bikin tenang. Yang penting, kita terhubung---bukan cuma terkoneksi.

Beberapa film yang bisa jadi 'antidote' buat dunia yang bising:

Her (2013): tentang cinta dan kesepian di era teknologi.

Don't Look Up (2021): kritik sosial tentang masyarakat yang lebih peduli viral ketimbang krisis iklim.

Inside Out (2015): edukasi emosi dengan cara yang hangat dan menyentuh.

Minimalism: A Documentary (2016): refleksi hidup dengan lebih sedikit tapi lebih bermakna.

The Great Hack (2019): tentang data, privasi, dan manipulasi algoritma politik.

Nonton film bukan kabur dari kenyataan, tapi bisa jadi ruang untuk melihat ulang kenyataan dari sudut pandang yang lebih jernih.

Apa yang Bisa Kita Lakukan?

Kita nggak harus selalu unplug total. Tapi kita bisa mulai bikin batas. Beberapa langkah kecil yang bisa bantu jaga kewarasan:

1. Digital curfew: stop buka HP minimal 1 jam sebelum tidur.

2.Saring, bukan serap semua: follow akun yang bikin tenang, bukan yang bikin perbandingan sosial.

3.Journaling: tuangin isi kepala di kertas, bukan terus dilampiaskan di media sosial.

4.Konsumsi konten panjang: artikel, film, buku. Biar otak dilatih fokus lagi.

5.Offline bareng teman: ngobrol beneran, tanpa distraksi layar.

Kita Layak Istirahat, Bukan Dihukum

Jadi, lain kali kamu ngerasa capek, ingat: kamu bukan gagal. Kamu cuma manusia. Manusia yang hidup di dunia yang sibuk banget, berisik banget, cepat banget.

Dan nggak semua kelelahan itu butuh kafein. Kadang kita cuma butuh duduk tenang, lihat langit, atau nonton film favorit tanpa gangguan.

Kita nggak lemah. Kita cuma kelelahan. Dan itu valid.

Jangan biarkan dunia digital memanipulasi kita buat merasa bersalah hanya karena ingin bernapas. Kita berhak tenang. Kita berhak sembuh. Dan yang paling penting: kita berhak nggak selalu online.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun