Mohon tunggu...
Robbi Gandamana
Robbi Gandamana Mohon Tunggu... Ilustrator - Ilustrator

Facebook : https://www.facebook.com/robbi.belumfull -------- IG : https://www.instagram.com/robbigandamana/

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan featured

Wiji Thukul, Apa Gunanya Banyak Baca Buku, kalau Mulut Kau Bungkam Melulu!

19 Desember 2015   14:14 Diperbarui: 26 Agustus 2018   06:59 9851
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kita tahu Orba adalah era dimana kebebasan berpendapat dimandulkan. Pada era ini orang harus tunduk pada pemerintah : manut atau dilenyapkan.

Kalau ada orang yang berani mengkritik, mengusik kebijakan, nasibnya bakalan berakhir merongos di penjara atau di kuburan.

Cekal dan bredel adalah momok yang ditakuti oleh media atau siapa saja yang berani melanggar garis batas kebijakan penguasa. Tapi walaupun begitu masih ada saja manusia-manusia berani, koclok, radikal dan nekat bersuara menentang penindasan itu.

Salah satu yang berani itu adalah Wiji Thukul. Pemuda kerempeng ringkih tapi akan berubah jadi raksasa buas yang bisa merusak rencana busuk para penindas dalam memuaskan syahwatnya. Bak Kresna yang bertiwikrama menjadi Brahala yang membuat para Kurawa kocar-kacir. Subhanalloh..

Wiji Thukul lahir di kampung Sorogenen, Solo 26 Agustus 1963 ini bernama asli Wiji Widodo. Nama belakang 'Thukul' disematkan oleh Cempe Lawu Warta saat dia mulai aktif berteater di kelompok teater Jagat. Cempe Lawu Warta sendiri adalah Seorang anggota Bengkel Teater asuhan WS. Rendra.

Pendidikan terakhirnya hanya sampai kelas 2 di Sekolah Menengah Karawitan Indonesia (SMKI) jurusan tari. Putus sekolah karena tak kuat menanggung biaya yang ditanggung bapaknya yang seorang tukang becak. Apalagi Kemajuan transportasi yang begitu pesat, lahan becak pun semakin ciut.

Untuk menyambung hidup, Thukul bekerja apa saja. Dari kuli bangunan, loper koran sampai mengamen dengan baca puisi yang diiringi gamelan ala kadarnya.

Istrinya, Sipon, bekerja sebagai tukang jahit di rumah. Mereka dikaruniai 2 anak, Fitri Nganti Wani dan Fajar Merah. Dia juga bekerja membantu istrinya dengan menerima pesanan sablon kaos, tas, dan lain-lain.

Sejak di bangku SD Thukul sudah menulis puisi. Disamping berpuisi Thukul juga main teater. Bersama dengan sanggar teaternya Thukul mementaskan cerita yang idenya kebanyakan berangkat dari sebuah protes sosial di sekitar kampungnya yang kumuh.

Dalam menulis puisi, Thukul memiliki prinsip tersendiri. Bagi dia puisi adalah media yang mampu menyampaikan permasalahan rakyat kecil yang tertindas dan juga bagi kaum tertindas di masa Orde Baru.

Dengan membacakan puisi-puisinya, Thukul menyertai rakyat dalam demo-demo menentang kebijakan yang merugikan rakyat kecil. Hari-harinya diisi dengan bersuara membela kaum proletar tadi. Banyak sekali demo yang diikutinya, dari buruh pabrik yang dirugikan sampai rakyat kecil yang dirampas tanahnya. Yang membuatnya selalu diburu oleh aparat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun