Mohon tunggu...
Robbi Gandamana
Robbi Gandamana Mohon Tunggu... Ilustrator - Ilustrator

Facebook : https://www.facebook.com/robbi.belumfull -------- IG : https://www.instagram.com/robbigandamana/

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

"Ulama Jangan Jadi 'Makelar' Umat" [Think Different ala Cak Nun - 3)

17 Oktober 2016   07:50 Diperbarui: 18 Oktober 2016   19:22 14961
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kenapa perlu menggalakan taddabur? Karena umat Islam sekarang tergantung pada ahli tafsir. Kita semua dibuat merasa tidak paham Al Qur'an. Kita tidak pernah dimerdekakan untuk otentik bergaul dengan Allah dan Al Qur'an. Kita harus selalu pakai makelar: ulama, kyai, ustadz, dst. Mereka menjadi 'makelar' di antara kita dan Al Quran, di antara kita dan Allah.

"Saya bukan makelar! Yang saya omongkan tidak harus Anda anut. karena Anda berdaulat atas diri Anda sendiri, Anda bertanggung jawab atas diri Anda sendiri di hadapan Allah. Jadi setiap keputusan, langkah, pikiran, dan sikap Anda harus berasal dari Anda sendiri karena nanti tanggung jawabnya juga Anda sendiri," kata Cak Nun.

"Saya tidak bisa mempertanggungjawabkan kelakuan Anda. Saya bukan Nabi Muhammad. Kalau Muhammad harus ditaati, karena bisa menolong kita. Sedangkan saya tidak bisa menolong Anda," lanjutnya.

Ke Al-Qur'an jangan pakai makelar. Kalau pakai makelar itu sebagai wacana atau mendengarkan, tapi tetap pertimbangannya ada pada kita. Selama ini umat Islam dibikin tidak pernah merasa paham Al Qur'an, untuk itu harus tanya pada kyai, ulama, dst.

Padahal kebenaran (sejati) itu tidak ada, yang bisa dilakukan manusia itu sebisa mungkin menuju kebenaran. Kebenaran itu ada 3: benarnya diri sendiri, benarnya orang banyak dan kebenaran sejati. Dan yang bikin kita bentrok itu karena seseorang atau umat ngotot dengan benarnya sendiri.

Suara kokok ayam versi orang Madura itu "kukurunuk", orang Sunda "kongkorongkong", orang Jawa "kukuruyuk". Yang benar yang mana? semuanya salah. Yang benar adalah taruh ayamnya di tengah ketiga orang tadi dan sama-sama mendengar suara kokok ayamnya.

Jarak antara kokok ayam dengan kita menirukan suara kokoknya itu namanya tafsir. Tafsir itu melahirkan madzhab dan pengelompokan-pengelompokan. Itu karena pendengarannya berbeda terhadap suara kokok ayam tadi.

Kita harus saling menyadari bahwa yang benar itu ayam. Antara tafsir 'kukuruyuk', 'kukurunuk' dan 'kongkorongkong' harus saling menyadari kelemahan masing-masing sehingga tercipta toleransi. Kalau nganggap benarnya sendiri, egois atau egosentris dengan tafsirnya sendiri maka akan terjadi bentrok.

Maka sebenarnya tidak ada tafsir yang betul betul benar atau benar-benar betul, nek wong Jowo, bener bener pener. Anda boleh menafsirkan menurut pikiranmu yang penting itu membuatmu menjadi lebih dekat, lebih cinta pada agama dan Tuhanmu. Dan tentu saja tidak menimbulkan kemudharatan umat.

Pandai-pandailah membedakan mana agama, mana terjemahan syariatnya, mana fiqihnya. Fiqih pun banyak versinya, fiqih A, fiqih B, dst. Tapi tetap default-nya adalah Al Qur'an. Sedangkan hadits itu diidentifikasi, dihimpun 300 tahun sesudah hidupnya Nabi Muhammad.

Jadi hadits itu berdasar katanya. Katanya ulama itu, perawi itu. Ada yang lulus, ada yang tidak. Jumlahnya dua juta dua ratus hadits, yang lulus di bawah seratus ribu. Itu pun belum tentu lulus. Kalau kira-kira tidak masuk akal, buang saja, hanya Al Qur'an yang dipakai.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun