Ini adalah kesekian kalinya aku terbangun dini hari. Dan tak dapat memejamkan mata lagi. Pohon Belimbing yang tumbuh di belakang rumah itu tersesat dalam mimpiku yang ganjil.
Dan kini, jika kututup mataku, wajah kakek muncul; mata tua di bawah alis tipis itu menatapku dari kegelapan seperti berusaha mengirim pesan rahasia.Â
O... kakek yang hidupnya kenyang dengan keajaiban, tentu jika kau masih hidup, mimpi ganjil itu dapat kau urai dengan mudah.
Masa bersama dengan kakek itu sudah  bertahun-tahun yang lalu. Tapi, masih jelas dalam ingatanku, ketika usiaku 7 tahun, kakek  gemar memetik buah belimbing dari pohon di belakang rumah itu untukku.
Kakek gemar menggendongku di atas punggungnya yang keras bagai batu, yang setiap sesudah memetikan buah belimbing membawaku menuju sawah yang tak jauh dari rumah.
Berjalan ke arah utara, melewati tretek kecil, maka terhamparlah sawah, dan kami disergap warna hijau daun-daun padi.
Sementara bola panas jatuh di garis senja. Dan ketika kakek menembangkan  lir-ilir tiba-tiba angin berhembus pelan menggoyangkan padi di sawah.
Begitulah lakon terakhir bersama kakek dalam kotak ingatanku. Sebab setelah itu, kakek meninggal.
Pada lakon terakhir itu, kakek menumpahkan seluruh kebijaksanaannya seolah aku adalah murid  yang mesti diberi warisan.
"Alam dan kita hakikatnya satu," kata Kakek, "satu yang tak terpisahkan. Jika kita baik pada alam, maka alam akan mengirimkan kebaikan pada kita."
"Bencana terjadi karena ada yang tidak seimbang dalam  tubuh alam. Sama seperti manusia, jika di dalam tubuhnya ada yang tidak seimbang, maka ia akan sakit. Bencana terjadi karena dalam diri alam ada yang sakit."