"Aku akan bercerita padamu beberapa hal. Ya, kutahu kamu takkan mendengar. Tapi kuyakin, kesadaran itu akan datang dengan sendirinya." Dia sedang menghadapi seorang pemuda yang tampak gelisah.
"Aku mengerti apa yang kamu pikirkan, anak muda. Oh, namamu Yusuf, bukan? Maulana Yusuf? Nama yang gagah.
"Begini, biar kuceritakan sedikit siapa-siapa saja yang menempatiku. Ya, tentu aku tahu semuanya. Kalian, semua, kurengkuh. Lewat telapak kali, sentuhan pada bagian-bagian tubuhku, aku bisa merasakannya. Bahkan saat ini misalnya, saat kamu duduk di tempat tidur, tanpa menyentuhku langsung, tanpa kamu tahu tempat tidur itu memberitahu akan resahmu itu. Biar kuberitahu, anak muda. Mereka semua mencintaiku.Â
Tentu dengan kadar dan cara mereka masing-masing. Aku senang dengan Nanang dan Ririn yang punya kamar dengan nyala lampu paling terang. Kamu tahu, Nanang sangat kreatif. Aku dihiasinya dengan lukisan dan pernak pernik yang ia buat. Sementara Ririn, dia senang sekali berbenah. Seprai, gorden, lampu, digantinya dengan rutin.Â
Kuberitahu rahasia tentangnya, gajinya di perusahaan swasta tempatnya bekerja amat besar. Oh, oh, apa kamu kenal Aan Ansori? Ya, walau kamarnya redup karena mungkin tak kuat untuk ganti bohlam dengan uangnya sendiri, dia cukup berusaha membuat ruangannya tampak ramai. Dia senang kamarnya didatangi. Dia senang perayaaan. Mungkin, ramai bisa membuatnya lupa sejenak akan kamarnya yang sedikit remang dan banyak sawang. Saking senangnya dia dengan perayaan, aku curiga nama belakangnya bukanlah Ansori, tapi ... Pesta. Ya, pasti Aan Pesta. Sementara empat kamar lainnya, aku mengerti, mereka sedang berusaha. Tentu mereka ingin punya penerangan yang terang seperti kamar Nanang dan Ririn. Atau setidaknya ingin kamarnya ramai seperti kamar Aan Pesta.
"Kau tahu, Bujang. Aku pun ingin sampai kepada apa yang kamu pikirkan. Aku ingin mereka merasa memilikiku, seutuhnya. Walau gembrot begini aku tidak terlalu tua, bukan? Lihatlah, tubuhku bongsor, kokoh. Tentu kadang aku iri dengan bangunan-bangunan lain yang makin tua makin jadi, makin keren, dan tentu saja makin dimiliki. Aku ingin seperti itu. Tapi, kapan itu akan terjadi? Entahlah, barangkali semua orang ingin sampai kepada hal yang dinamakan kesadaran berpikir. Kamu jangan sedih, anak muda. Semoga mereka lekas sampai." Dia mengakhiri ucapannya.
Si pemuda beringsut dari duduknya, tiba-tiba saja dia ingin keluar. Barangkali menyalakan plasma di ruang tengah? pikirnya.
Di ruang tengah, pemuda itu duduk di sofa separuh lingkaran sambil memegang remot. Ditekannya tombol power, plasma menyala menampilkan logo, BANTEN.[]
Tangerang, 14 November 2018
Rkyawan