Mohon tunggu...
Rizky Kurniawan
Rizky Kurniawan Mohon Tunggu... Freelancer - Pribadi

Ilmu Komunikasi di Universitas Islam Syekh-Yusuf Tangerang

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen | Pemuda yang Bertanya kepada Sebuah Rumah

15 November 2018   04:23 Diperbarui: 15 November 2018   09:17 402
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pemuda itu duduk di pinggiran tempat tidur. Dia menghadap dinding kamar berwarna gading, kedua kakinya terjuntai ke lantai. Siapa pun yang melihat, pastilah dapat menyimpulkan bahwa si pemuda tengah memikirkan sesuatu.

Adalah Yusuf, pemuda itu biasa dipanggil, merupakan mahasiswa Ilmu Komunikasi universitas milik negara terkemuka di kota ini. Sebagai mahasiswa pendatang, tentulah hal pertama yang dicari adalah tempat tinggal. Murah, sudah pasti yang diharapkan. Tidak jauh dari kampus, kalau bisa. Nyaman, yang terpenting. Paling tidak buatnya.

Bangunan yang seminggu belakangan ditinggalinya tersebut memenuhi tiga kriteria itu. Barangkali, rumah ini jugalah satu-satunya yang menyewakan sebuah kamar kos dengan ukuran paling luas di kota tersebut, atau bisa jadi di seantero negeri. 

Perabot lengkap: lemari pakaian dua pintu, meja kerja, kamar mandi di dalam dan sebuah televisi tabung 21 inci. Yusuf merasa beruntung, tentu saja. Dalam bayangannya sebelum kuliah di kota orang, dan menyewa sebuah kamar kos berharga murah, yang akan didapat hanyalah sebuah kamar kos dengan ukuran kecil, fasilitas seadanya, kamar mandi bersama, dan televisi tabung di ruang tengah untuk hiburan bersama. Tapi, fasilitas yang didapat di rumah ini cukup melebihi ekspektasinya.

Namun, dari apa yang didapatnya dari fasilitas rumah ini, ada hal yang mengganggu pikirannya. Barangkali satu hal yang menjadi alasan mengapa si pemilik menyewakan dengan harga murah kepadanya.

Ya, yang menjadi catatan Yusuf adalah rumah itu terlihat tua untuk umurnya yang baru menginjak belasan tahun. Bahwa betul, didominasi warna gading, bangunannya kokoh, arsitekturnya bergaya klasik dengan empat pilar menopang di muka bangunan. Sementara bagian dalam, rumah dibuat simpel dengan sebuah ruang tengah dan delapan kamar melingkar menghadapinya. Tak ada lagi ruangan lain. Ruang tengah pun tak diisi macam-macam furniture, hanya sebuah sofa setengah lingkaran dan sebuah plasma yang seingat Yusuf tak pernah sekalipun terlihat dinyalakan.

Ya, mungkin akan timbul pertanyaan mengapa plasma tak pernah dinyalakan? Bisa dijawab dengan adanya televisi tabung 21 inci di masing-masing kamar. Tapi kemudian, mengapa ada televisi dan sofa besar di ruang tengah? Bisa dijawab dengan untuk menyambut tamu. Oh, Yusuf merasa para penyewa lebih memilih membawa tamu ke dalam kamar. Lalu, apakah itu artinya induk semangnya menginginkan penghuni kamar berinteraksi satu sama lain? Barangkali begitu, pikir Yusuf. Tapi faktanya, tak ada interaksi di sofa depan plasma itu. Yang ada hanyalah interaksi kecil, basa-basi, saat mereka tak sengaja berpapasan sebelum mulai atau selesai aktivitas di luar. "Mengerikan, bukan?" pemuda itu bergumam.

Pernah satu malammalam keempat jika Yusuf tak salah ingatdia duduk di sofa itu sendiri. Malam sudah kelewat larut. Semua penghuni sudah pulang dan mereka memilih diam di kamar masing-masing ketimbang menemaninya di sofa. Ya, Yusuf tak menyalakan plasma itu. Dia mengamati tiap kamar, nuansa satu kamar ke kamar lain tampak beda dari lampu yang berpendar di dalamnya--semua lampu kamar masih menyala. 

Ada dua kamar yang pendarnya paling terang, barangkali baru ganti bohlam. Sementara yang lain relatif berbeda, antara yang sedang nyala lampunya sampai ke yang paling redup. Satu kamar yang paling redup, dari kamarnya terdengar suara tertawa dari beberapa orangmungkin sedang kedatangan tamutapi Yusuf selalu mendengar suara itu beberapa malam, dan tak ada yang menegurnya. Satu hal, dia belum mengenal pemilik kamar itu sampai hari ini.

"Bagaimana mungkin aku, ... atau barangkali kami, ... menempati rumah ini, tapi seakan-akan kami tidak menempati rumah ini?" Yusuf bertanya resah.

**

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun