Sejak pertama kali istilah Artificial Intelligence (AI) digaungkan pada 1956 di Konferensi Dartmouth, mimpi menciptakan mesin yang bisa berpikir seperti manusia terus menghantui para ilmuwan. Kini, setelah puluhan tahun, kita bukan lagi hanya bicara tentang AI yang bisa mengalahkan grandmaster catur atau menjawab pertanyaan sederhana. Artificial General Intelligence (AGI), kecerdasan buatan yang mampu belajar, beradaptasi, dan bertindak layaknya manusia di berbagai bidang mulai terasa di ambang pintu. Bayangkan sebuah sistem yang hari ini mendiagnosis penyakit kanker, besok merancang kebijakan ekonomi, dan lusa menciptakan karya seni orisinal. Ini bukan sekadar mimpi, tapi tujuan yang sedang dikejar oleh raksasa teknologi seperti OpenAI, Google DeepMind, dan Microsoft. Namun, di balik janji kemajuanya, AGI menyimpan paradoks: dimana ia bisa jadi solusi terbesar umat manusia atau ancaman terburuk yang belum pernah kita bayangkan.
Terkesan berlebihan? oke, kita lanjutkan bahasan ini.
Perjalanan dari Artificial Narrow Intelligence (ANI) (just for informations, ANI merupakan AI yang dirancang cuma untuk tugas general saja, misal reasoning, bikin gambar, esai, dan tugas tugas ringan lain, tanpa adanya spesialisasi tertentu), menuju AGI ibarat melompati jurang yang dalam. ANI seperti asisten virtual atau algoritma rekomendasi adalah produk AI yang kita kenal sehari-hari.Â
Ia ahli di satu bidang, tapi tak bisa berpikir di luar tugas yang diprogram. Contohnya, ChatGPT mungkin bisa menulis puisi, tapi tak akan mampu merancang strategi bisnis tanpa data pelatihan spesifik. AGI, sebaliknya, dirancang untuk memiliki fleksibilitas kognitif manusia. Misalnya, sebuah AGI yang mempelajari bahasa Jawa secara otodidak dari literatur kuno, lalu menggunakan pemahamannya itu untuk menganalisis dampak budaya terhadap ekonomi lokal. Tantangannya? Otak manusia memiliki sekitar 86 miliar neuron yang saling terhubung dalam jaringan kompleks. Meniru ini membutuhkan daya komputasi yang bahkan superkomputer tercanggih pun masih kesulitan. Proyek Human Brain Project di Eropa mengungkap bahwa simulasi 1 detik aktivitas otak manusia memerlukan 40 menit pemrosesan oleh superkomputer Fugaku.
Oke, cukup dengan global, kita coba relevansikan dengan Indonesia dalam posisi ini. Di tengah perlombaan global, Indonesia berada di persimpangan. Strategi Nasional AI 2020-2045 menargetkan pengembangan AI untuk sektor kesehatan, pendidikan, dan UMKM. Kolaborasi BPPT dengan NVIDIA dalam membangun superkomputer Jetson Orion di Bandung menjadi tanda ambisi ini. Namun, realitanya, hanya 23% daerah tier-3 yang memiliki infrastruktur internet memadai untuk riset AI, dan kurang dari 10% lulusan IT menguasai teknologi AI tingkat lanjut. Di sisi lain, kisah sukses seperti startup Cocokan yang menggunakan AI untuk menghubungkan UMKM dengan investor, atau proyek ITB yang melestarikan 15 bahasa daerah lewat model terjemahan AI, membuktikan potensi lokal yang belum tergali maksimal. Â
Masa depan AGI dihiasi dengan skenario ekstrem. Di satu sisi, ia bisa merevolusi kesehatan dengan terapi personalisasi berbasis DNA, memprediksi bencana alam dengan akurasi 95%, atau merekonstruksi situs budaya seperti Borobudur dalam bentuk virtual reality interaktif. Tapi si sisi lain, ancaman pengangguran massal, dimana 40% pekerjaan terancam otomatisasi pada 2035 dan senjata otonom yang bisa memicu perang tanpa kendali manusia menjadi bayangan suram.Â
Persoalannya bukan lagi pada kapan AGI akan tercipta, tapi bagaimana memastikan ia selaras dengan nilai kemanusiaan. Jika korporasi multinasional menguasainya tanpa regulasi yang kuat, AGI mungkin hanya akan memperdalam kesenjangan global.
maka dari sini muncul pertanyaan ambigu: nilai apa yang kita tanamkan dalam AGI? Apakah ia akan menjadi alat kapitalis yang mengeksploitasi sumber daya, atau mitra yang menjunjung keadilan sosial? Indonesia, dengan filosofi Pancasila, punya peluang unik untuk mendorong AGI yang inklusif dan berbasis kearifan lokal. Tapi ini butuh aksi nyata, dimana pendidikan AI sejak dini, regulasi ketat untuk mencegah penyalahgunaan, dan kolaborasi antar-desa-kota agar AGI tak hanya memahami Jakarta, tapi juga budaya Mentawai atau Sumba.Â
Bagaimana menurutmu? Jika AGI suatu hari nanti bisa lulus ujian SBMPTN, haruskah kita membuang sistem pendidikan konvensional? Atau justru menjadikannya alat untuk memperluas akses pengetahuan?Â
Diskusikan di kolom komentar...