Alisa mengerti perasaannya, tapi ada rasa keraguan yang menyelimutinya sejak mengenalnya lebih lama.
Kepastian, untuk terus bersama dikala kehidupan tak menentu dengan harga-harga yang naik tak masuk akal logikanya Alisa. Ambudi tak pernah berdiam diri, menunjukkan tajinya sebagai pria yang tak pernah menyerah dengan sesuatu yang ia sebut takdir.
Ambudi berkelahi dengan takdirnya dengan penuh semangat, mengangkat bahunya dan tegap dengan asa yang bergejolak di dalam dada. Ia menantang takdir untuk bertempur hingga nafas terakhirnya pergi dari raga yang menopangnya. Ambudi tahu, mencintai Alisa berarti menghadapi dunia yang tak ramah. Tapi ia rela, sebab baginya, senyum Alisa lebih berarti dari rasa lelahnya sendiri
Tapi Ambudi lupa dengan sang Bulan yang menemaninya tanpa henti di kesunyian malam, terdiam di kejauhan memantaunya tapi Ambudi tak menghiraukan dan tetap dengan Alisa yang membuat gema dalam dirinya memancar.
Bulan itu tak pernah marah atau kecewa, karena ia suci dan tak tersentuh, meski Ambudi mengacuhkannya dan tak menganggapnya ada.
Alisa menjadi segalanya bagi Ambudi. Ia menutup mata pada yang lain---pada bulan yang dulu diam-diam menemani malam-malamnya. Bulan itu tetap setia di kejauhan, memandangi tanpa meminta apa pun, tanpa perlu pengakuan dari Ambudi.
Bagi Ambudi, bulan bukan sekadar benda langit---ia adalah lambang harapan yang diam, penunjuk jalan yang tak pernah memaksa. Namun sejak Alisa hadir, sorot bulan memudar di hatinya.
Selama berbulan-bulan, Ambudi dan Alisa menjalin hubungan. Mereka bicara soal masa depan, dan setiap percakapan menumbuhkan debar yang asing, campur aduk.
Kedua orang tua Alisa terus mempertanyakan masa depan mereka yang tak kunjung jelas. Tekanan itu membuat Alisa semakin gusar.
"Ambudi, sudah berbulan-bulan kita bersama, dan kita tak menentu arah. Apa pendapatmu?" ucap Alisa dengan canggung
"Ya, aku mengerti, jadi aku mau tahu kita kedepannya kan? Tapi aku mau kita menjalaninya, dan semoga aku punya uang buat ke pelaminan nanti," balas Ambudi lembut