Pada era media sosial, semua orang diberikan kebebasan untuk berbicara. Dari komentar santai sampai opini panas, semuanya bisa terlontar hanya lewat satu kali klik. Tapi dari sekian banyak percakapan di dunia maya, satu hal jadi pertanyaan: ke mana perginya sopan santun digital?
Banyak yang mengaku hanya "beropini", namun isi komentarnya penuh caci maki, ejekan, bahkan penghinaan. Tak jarang pula kritik sosial yang sehat tenggelam karena dibalut kata-kata kasar yang tak perlu. Fenomena ini seolah mencerminkan krisis etika komunikasi di ruang digital.
Menurut studi dari Microsoft lewat Digital Civility Index, Indonesia sempat masuk dalam kategori negara dengan tingkat kesopanan digital yang rendah. Penelitian ini menunjukkan bahwa lebih dari separuh pengguna internet di Indonesia pernah mengalami ujaran kebencian, hoaks, hingga cyberbullying. Ini bukan sekadar data, tapi gambaran nyata bagaimana dunia digital kini jadi medan bebas namun tanpa pagar.
Antara Kebebasan Berpendapat dan Ujaran Kebencian
Di dalam demokrasi, kebebasan berpendapat memang hak dasar. Tapi hak ini bukan berarti bebas menghina. Undang-Undang ITE di Indonesia, khususnya Pasal 27 ayat (3), bahkan bisa menjerat mereka yang menyebarkan ujaran kebencian atau pencemaran nama baik di internet.
Namun, batas antara kritik dan hinaan terkadang memang kabur. Ada yang berdalih "cuma bercanda" padahal jelas merendahkan. Ada pula yang bersembunyi di balik akun anonim, merasa aman untuk melontarkan komentar menyakitkan karena merasa tidak akan terkena dampaknya.
Padahal, setiap kata punya efek. Sebuah komentar pedas yang dianggap sepele bisa berdampak begitu besar pada kesehatan mental seseorang, apalagi jika dilakukan berulang kali.
Dampaknya: Lingkungan Digital yang Semakin Toxic
Budaya komentar negatif yang terus dibiarkan akhirnya menular. Semakin banyak orang yang merasa wajar untuk "menghajar" orang lain di kolom komentar. Akhirnya, ruang diskusi yang seharusnya sehat dan terbuka berubah menjadi ajang saling serang.
Yang lebih parah, pengguna muda yang belum cukup matang secara emosional bisa tumbuh dengan pola pikir bahwa kekasaran adalah bagian dari kebebasan berekspresi. Padahal, ini bisa jadi awal dari ketidaksehatan dalam komunikasi sosial mereka di masa depan.
Solusi: Bangun Kembali Etika Komunikasi Digital
Masalah ini bukan berarti tanpa solusi. Literasi digital adalah kunci. Pendidikan etika berinternet seharusnya tidak berhenti di sekolah, tapi juga perlu hadir lewat kampanye publik, peran influencer, dan bahkan regulasi platform digital itu sendiri.
Beberapa negara seperti Finlandia dan Korea Selatan sudah mulai menerapkan kurikulum etika digital sejak usia sekolah dasar. Mereka sadar bahwa internet bukan cuma soal teknologi, tapi juga tentang nilai dan interaksi antar manusia.
Selain itu, pengguna media sosial sendiri juga punya tanggung jawab untuk menciptakan ruang yang aman. Saring sebelum sharing, pikir sebelum komen, dan sadar bahwa ada manusia lain di balik layar.
Kalau kita bisa sopan saat bertemu orang di dunia nyata, kenapa mendadak kasar di internet? Mungkin karena kita merasa tak terlihat, atau merasa tidak akan dihukum. Tapi justru di ruang tak terlihat itulah, karakter asli kita diuji.
Mari jaga ruang digital kita. Karena sopan santun itu tidak lekang oleh zaman, bahkan ketika zaman sudah bergeser ke layar sentuh.
Pernahkah kamu merasa kesal membaca komentar netizen yang kelewat kasar? Atau mungkin kamu sendiri pernah tanpa sadar jadi bagian dari budaya itu? Yuk, refleksi bareng dan bagikan pendapatmu di kolom komentar.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI