Mohon tunggu...
Rizqi Putra
Rizqi Putra Mohon Tunggu... UIN Maulana Malik Ibrahim Malang

Mahasiswa Semester 6 di UIN Maulana Malik Ibrahim Malang

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Alam & Tekno

Mengapa Perguruan Tinggi Tak Bisa Lagi Abaikan Information Governance?

17 Mei 2025   20:30 Diperbarui: 17 Mei 2025   19:41 40
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Information Governance di Perguruan Tinggi (Sumber: Freepik.com)

Mengapa Perguruan Tinggi Tak Bisa Lagi Abaikan Information Governance?

Perkembangan teknologi informasi telah mengubah lanskap operasional institusi pendidikan tinggi secara signifikan. Di tengah tuntutan global terhadap akuntabilitas, transparansi, dan efisiensi, institusi perguruan tinggi tidak hanya dituntut untuk menghasilkan lulusan berkualitas, tetapi juga untuk menunjukkan tata kelola informasi yang andal dan terintegrasi. Dalam konteks ini, artikel ilmiah berjudul “Information Governance for Enhancing the Performance of Higher Education Institutions” karya Nordiana Mohd Nordin, Azman Mat Isa, Ahmad Zam Hariro Samsudin, dan Abdul Rahman Ahmad (2022) memberikan kontribusi berarti dalam merumuskan pentingnya penerapan Information Governance (IG) dalam meningkatkan kinerja organisasi kampus.

Menurut Gartner (2021), IG mencakup kerangka kerja hak keputusan dan akuntabilitas yang mengatur siklus hidup informasi—mulai dari penciptaan, penggunaan, penyimpanan hingga penghapusan. Dalam studi kasus yang dilakukan di salah satu universitas terbesar di Malaysia, artikel ini menyoroti kompleksitas pengelolaan informasi internal, seperti tidak terintegrasinya sistem informasi antar unit, minimnya penugasan tanggung jawab, serta lemahnya klasifikasi data yang berdampak langsung pada efektivitas pengambilan keputusan.

Berdasarkan temuan tersebut, penulis artikel menegaskan bahwa institusi yang tidak memiliki IG berisiko tinggi mengalami redundansi data, kehilangan informasi penting, dan inefisiensi administratif. Data dari wawancara menyebutkan bahwa bahkan petinggi kampus mengalami kesulitan menemukan informasi yang relevan karena sistem yang berjalan secara silo. Lebih lanjut, hasil penelitian Muhammad et al. (2021) menyebutkan bahwa keberhasilan implementasi IG ditentukan oleh tujuh faktor kritis seperti pendanaan, kebijakan, keahlian, teknologi, dan lingkungan pendukung.

Dengan tekanan peringkat internasional dan tuntutan digitalisasi, absennya tata kelola informasi yang solid bisa menjadi kelemahan struktural yang serius. Oleh karena itu, opini ini bertujuan mengulas mengapa IG bukan sekadar solusi administratif, tetapi kebutuhan strategis dalam menyongsong transformasi pendidikan tinggi abad ke-21.

Penerapan Information Governance (IG) di institusi pendidikan tinggi bukan hanya menyangkut pengelolaan data, melainkan menyentuh aspek-aspek strategis yang memengaruhi seluruh ekosistem akademik dan administratif kampus. Dalam artikel yang ditulis oleh Nordiana Mohd Nordin dan rekan-rekannya, studi kasus yang dilakukan di "University X" menunjukkan gejala klasik kegagalan tata kelola informasi: sistem informasi yang tersebar, tumpang tindih, dan tidak saling terhubung—hal yang menghambat akses informasi tepat waktu untuk pengambilan keputusan. Misalnya, bagian registrasi, keuangan, dan perpustakaan memiliki sistem masing-masing yang tidak terintegrasi, menyebabkan duplikasi informasi dan kesulitan dalam analisis data lintas-unit.

Data empiris dari penelitian menunjukkan bahwa dari 8 informan kunci di berbagai posisi strategis universitas, mayoritas menyatakan kebingungan dalam mengakses informasi penting. Bahkan seorang eksekutif puncak menyebutkan bahwa tanggung jawab pengelolaan informasi tidak dijelaskan secara eksplisit. Ini memperlihatkan absennya kerangka kerja IG yang menyeluruh dan lemahnya kepemimpinan informasi (information leadership).

Jika kita melihat ke global, survei AIIM (Association for Intelligent Information Management) tahun 2020 menunjukkan bahwa 52% institusi pendidikan mengalami masalah dalam klasifikasi dan retensi informasi digital, dan hanya 29% yang memiliki kebijakan IG yang diperbarui secara berkala. Ini mencerminkan bahwa masalah di Malaysia bukan kasus tunggal, melainkan fenomena global.

Penelitian dari Muhammed et al. (2020) bahkan menegaskan bahwa tanpa kejelasan dalam peran, kebijakan, serta pemanfaatan teknologi, IG cenderung menjadi jargon semata. Diperlukan investasi dalam pelatihan, software analitik, dan infrastruktur digital untuk mengubah IG dari dokumen formalitas menjadi kerangka kerja yang hidup dan fungsional.

Lebih jauh, IG berpotensi menjadi pembeda strategis dalam performa perguruan tinggi. Dengan IG yang kuat, universitas mampu menyajikan informasi real-time untuk kebutuhan akreditasi, pelaporan ke kementerian, hingga pemeringkatan internasional seperti QS Ranking. Di era big data, institusi yang dapat memanfaatkan informasi secara tepat, akurat, dan cepat memiliki keunggulan kompetitif yang signifikan.

Artinya, IG bukan hanya sekadar sistem pendukung. Ia adalah tulang punggung dari perencanaan strategis institusi modern. Tanpa fondasi ini, universitas akan terus beroperasi dalam ketidakpastian, mengambil keputusan berdasarkan intuisi, bukan data.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Lihat Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun