Menurut Mazhab Hanafi menjelaskan bahwa anak yang lahir diluar nikah tidak memiliki hak perwalian dari bapak biologis nya karena terputus hak syari'at nya.oleh karena itu anak yang lahir diluar nikah memakai wali hakim.
Mazhab Syafi'i Dan Maliki
Menurut mazhab Syafi'i dan Maliki menjelaskan bahwa anak yang lahir sebelum berumur enam bulan maka dinasabkan kepada ibunya sedangkan anak yang lahir setelah berumur enam bulan maka anak itu dinasabkan kepada ayahnya.
Mazhab Hanbali
Menurut Mazhab Hanbali menjelaskan bahwa anak hasil zina memiliki nasab dengan ibunya tetapi tidak memiliki nasab kepada bapak biologisnya  meskipun bapaknya mengakuinya, Adapun menurut Mazhab Hambali menjelaskan bahwa hak waris dan nafkah dari bapak biologis tidak berlaku.
Dari situ kita dapat menarik Kesimpulan bahwa ke empat mazhab tersebut sepakat bahwa anak yang lahir diluar nikah hanya memiliki nasab kepada ibunya bukan kepada bapak bioogis nya, berbeda dengan Mazhab Hanafi yakni nasab bapak biologis diakui secara hakiki tetapi hak waris dan nafkah tidak berlaku seperti anak sah. Sedangkan mazhab lain jelas menolak hubungan nasab dengan bapak biologis karena anak tersebut dihasilkan dalam ikatan perkawinan yang tidak sah atau anak yang hamil diluar nikah.
Menurut Perspektif Hukum Positif Di Indonesia
Menurut putusan MK Nomor 46/PUU-VII/2010 yang menjelaskan bahwa anak yang lahir diluar (zina) tetap mempunyai hubungan keperdataan dengan ayah biologisnya. Hal tersebut menjelaskan bahwa putusan MK menyatakan tidak berlaku pasal 43 ayat 1 Undang Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan yang menyatakan bahwa "anak yang dilahirkan diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya".Â
Dengan adanya putusan MK Nomor 46/PUU-VII/2010 pada tanggal 17 Februari 2012 menjelaskan bahwa pasal 43 ayat (1) UU RI/1/1974 (lembaran negara republic Indonesia tahun 1974 nomor 1, tambahan lembaran negara RI No. 3019) yang menyatakan bahwa "anak yang dilahirkan diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya". Hal ini bertentangan dengan UUD NRI 1945, serta tidak mengikat sepanjang dimaknai menghilangkan hubungan perdata dengan laki laki yang dapat dibuktikan dengan ilmu pengetahuan dan teknologi serta alat bukti lain nya oleh karena itu menurut hukum ternyata mempunyai hubungan darah sebagai seorang ayahnya. Kemudia ayat tersebut seharusnya dibaca "Anak yang dilahirkan diluar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan melalui ilmu pengetahuan dan teknologi atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah termasuk hubungan perdata dengan keluarganya.
Adapun putusan MK Nomor 46/PUU-VII/2010 terhadap nasab anak luar kawin yang diajukan oleh Machica Mochtar. Dari bunyi putusan MK dapat dipahami bahwa selama anak dapat dibuktikan keterikatan pertalian darah begitu juga pada seorang laki laki maka anak tersebut merupakan tanggungan laki laki, Begitu pun juga terhadap anak luar nikah, baik yang disebabkan oleh nikah sirri ataupun zina, oleh karena itu tetap memiliki keterikatan nasab, atau tidak adanya hubungan keperdataan pada ayah biologisnya.
Oleh karena itu pada putusan MK Nomor 46/PUU-VII/2010 menjelaskan bahwa seorang anak berhak memiliki kelangsungan hidup di masa depannya dengan orang tua aslinya termasuk kepada ayahnya, serta berhak memiliki keadilan baik secara keperdataan maupun kehidupan sosialnya sebagai anak. Oleh karena itu putusan MK ini merupakan bentu pembaharuan hukum keluarga di Indonesia yang terdapat pada kasus Machica Mochtar. Maka hal tersebut lahirlah sebuah putusan MK Nomor 46/PUU-VII/2010.