Mohon tunggu...
Muhammad Rizqi Al Fajri
Muhammad Rizqi Al Fajri Mohon Tunggu... Mahasiswa

Olahraga

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Peradilan agama

2 Oktober 2025   16:36 Diperbarui: 2 Oktober 2025   16:36 7
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Kelompok 5

  1. Mutiara Rahma Siregar 232121143

  2. Faiz Ahmad Nurdiansyah 232121153

  3. Muhammad Rizqi Al fajri 232121165

Peradilan dan Pengadilan Agama di Indonesia

Pendahuluan

Peradilan merupakan salah satu pilar penting dalam sistem hukum suatu negara. Di Indonesia, peradilan dibagi menjadi beberapa lingkungan peradilan, salah satunya adalah Peradilan Agama. Eksistensi peradilan ini tidak terlepas dari sejarah panjang perkembangan hukum Islam di Indonesia, yang menjadi bagian integral dalam kehidupan masyarakat, khususnya umat Islam. Artikel ini akan membahas mengenai pengertian peradilan dan pengadilan agama, kewenangan yang dimiliki, proses penanganan perkara, serta perkembangan peradilan agama dari masa sebelum kemerdekaan hingga era reformasi.

  1. Apa itu Peradilan dan Pengadilan Agama?

Secara umum, peradilan adalah lembaga yang memiliki tugas dan wewenang untuk memeriksa, mengadili, dan memutus perkara hukum. Peradilan menjadi sarana penegakan hukum serta perlindungan terhadap hak-hak setiap warga negara.

Sementara itu, Pengadilan Agama adalah salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman di Indonesia yang berwenang menangani perkara-perkara tertentu bagi masyarakat yang beragama Islam. Lembaga ini berada di bawah Mahkamah Agung sesuai dengan prinsip "satu atap" peradilan sejak diberlakukannya UU No. 35 Tahun 1999.

Dengan kata lain, Pengadilan Agama adalah lembaga peradilan yang khusus menangani masalah-masalah hukum Islam, terutama di bidang hukum keluarga, waris, wakaf, ekonomi syariah, dan perkara lain yang ditetapkan undang-undang.

  1. Kewenangan Peradilan Agama

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama (yang kemudian diperbarui dengan UU No. 3 Tahun 2006 dan UU No. 50 Tahun 2009), kewenangan Peradilan Agama meliputi:

  1. Perkara perkawinan

    • Sengketa pernikahan, perceraian, rujuk, izin poligami, dispensasi nikah, penetapan asal-usul anak, dan lain-lain.

  2. Perkara waris

    • Penentuan ahli waris, pembagian harta warisan, penetapan bagian masing-masing ahli waris sesuai hukum Islam.

  3. Perkara wasiat

    • Sengketa pelaksanaan atau pembatalan wasiat menurut hukum Islam.

  4. Perkara hibah

    • Sengketa terkait hibah yang dilakukan berdasarkan hukum Islam.

  5. Perkara wakaf

    • Sengketa status tanah wakaf, penggantian nadzir, pengelolaan dan penggunaan tanah wakaf.

  6. Perkara zakat

    • Sengketa pengelolaan zakat, distribusi zakat, dan hal-hal lain yang berkaitan dengan zakat.

  7. Perkara infaq dan shadaqah

    • Perselisihan mengenai pelaksanaan, distribusi, dan penggunaan dana infaq maupun sedekah.

  8. Perkara ekonomi syariah

    • Sengketa perbankan syariah, koperasi syariah, asuransi syariah, pegadaian syariah, dan transaksi ekonomi berbasis syariah.

Dengan kewenangan tersebut, Pengadilan Agama berfungsi tidak hanya di ranah privat seperti keluarga dan waris, tetapi juga menyentuh aspek sosial-ekonomi umat Islam.

  1. Kewenangan, Jenis Perkara, dan Proses Penanganan Perkara di Peradilan Agama

a. Jenis Perkara yang Ditangani
Perkara-perkara yang ditangani oleh Pengadilan Agama mencakup:

  • Perkawinan dan perceraian (cerai gugat, cerai talak, izin kawin, dispensasi nikah, harta bersama).

  • Waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, shadaqah.

  • Ekonomi syariah, termasuk sengketa kontrak syariah dan lembaga keuangan syariah.

b. Proses Penanganan Perkara
Proses beracara di Pengadilan Agama pada prinsipnya mengikuti hukum acara perdata dengan beberapa kekhususan. Tahapannya antara lain:

  1. Pendaftaran perkara

    • Pihak yang berperkara mengajukan gugatan atau permohonan ke Pengadilan Agama.

  2. Penunjukan majelis hakim

    • Ketua Pengadilan Agama menetapkan majelis hakim yang akan memeriksa perkara.

  3. Pemanggilan para pihak

    • Panitera/jurusita memanggil penggugat dan tergugat secara sah dan patut.

  4. Mediasi

    • Sebelum pemeriksaan pokok perkara, wajib dilakukan mediasi untuk mencari penyelesaian damai.

  5. Pemeriksaan persidangan

    • Hakim memeriksa dalil, bukti, dan saksi-saksi yang diajukan.

  6. Putusan

    • Majelis hakim menjatuhkan putusan yang mengikat para pihak.

  7. Upaya hukum

    • Jika salah satu pihak tidak puas, dapat mengajukan banding, kasasi, atau peninjauan kembali.

Proses ini menunjukkan bahwa meskipun khusus menangani perkara hukum Islam, tata cara peradilannya tetap mengikuti sistem hukum nasional dengan integrasi hukum acara perdata.

  1. Perkembangan Peradilan Agama di Indonesia

a. Masa Sebelum Kemerdekaan
Pada masa kolonial Belanda, peradilan agama sudah ada namun terbatas. Belanda mengakui hukum Islam dalam ranah perkawinan dan warisan, tetapi secara bertahap membatasi kewenangannya. Beberapa peradilan agama berdiri di Jawa, Madura, dan Kalimantan Selatan. Namun, pada masa kolonial, kedudukannya lemah karena berada di bawah pengawasan pengadilan umum kolonial.

b. Masa Setelah Kemerdekaan
Setelah Indonesia merdeka, peradilan agama tetap diakui, namun kedudukannya belum kuat. Pada awalnya, keberadaan Pengadilan Agama diatur melalui peraturan daerah dan peraturan menteri agama. Belum ada pengakuan setara dengan peradilan lain.

c. Masa Orde Baru
Puncak penguatan Peradilan Agama terjadi ketika lahir UU No. 7 Tahun 1989. Undang-undang ini memberikan dasar hukum yang kokoh dan menempatkan Peradilan Agama sejajar dengan lingkungan peradilan lainnya (Peradilan Umum, Peradilan Tata Usaha Negara, dan Peradilan Militer).

d. Masa Reformasi
Masa reformasi membawa perubahan besar. Dengan adanya UU No. 35 Tahun 1999 dan UU No. 4 Tahun 2004, sistem peradilan satu atap diberlakukan. Peradilan Agama yang sebelumnya berada di bawah pembinaan Kementerian Agama dipindahkan ke Mahkamah Agung. Selanjutnya, melalui UU No. 3 Tahun 2006 dan UU No. 50 Tahun 2009, kewenangan Peradilan Agama diperluas, khususnya dalam bidang ekonomi syariah.

Perkembangan ini menunjukkan bahwa Peradilan Agama telah berubah dari lembaga marginal di era kolonial menjadi lembaga peradilan yang memiliki peran strategis dalam sistem hukum nasional.

Kesimpulan

Peradilan Agama adalah lembaga peradilan khusus yang menangani perkara-perkara bagi umat Islam, terutama di bidang hukum keluarga, waris, wakaf, zakat, dan ekonomi syariah. Kewenangan yang dimilikinya semakin luas seiring perkembangan masyarakat, termasuk dalam aspek ekonomi berbasis syariah. Proses penanganan perkara di Pengadilan Agama mengikuti hukum acara perdata, dengan tahap pendaftaran, pemeriksaan, mediasi, hingga putusan.

Dari sisi sejarah, Peradilan Agama mengalami perjalanan panjang: dari posisi lemah pada masa kolonial, bertahan setelah kemerdekaan, diperkuat di masa Orde Baru, hingga memperoleh legitimasi penuh dan perluasan kewenangan pada era reformasi. Perjalanan tersebut menegaskan bahwa Peradilan Agama memiliki kontribusi penting dalam membangun sistem hukum nasional yang mengakomodasi kebutuhan hukum umat Islam di Indonesia.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun