Akhirnya, tunjangan guru resmi diumumkan naik seiring dengan meningkatnya anggaran pendidikan tahun depan. Pemerintah menetapkan bahwa anggaran pendidikan akan naik menjadi Rp274,7 triliun, dengan alokasi khusus untuk tunjangan guru dan dosen yang mencapai Rp120,3 triliun. Kabar ini tentu disambut dengan rasa syukur dan kegembiraan oleh banyak kalangan, khususnya para tenaga pendidik yang selama ini menanti adanya peningkatan kesejahteraan. Namun, di balik rasa senang itu, muncul juga suara kritis dari masyarakat yang mengingatkan agar tidak terlalu cepat lega. Sebab, sejarah kebijakan di negeri ini sering kali lebih banyak berhenti di janji dibandingkan dengan realisasi nyata di lapangan.
Sejumlah pihak menilai, kenaikan anggaran dan tunjangan guru memang langkah positif, tetapi masih menyisakan pekerjaan rumah besar. Faktanya, hingga kini masih ada ratusan ribu guru honorer di seluruh Indonesia yang hidup di bawah standar. Mereka yang setiap hari mengajar anak bangsa, mendidik dengan dedikasi penuh, justru menerima gaji yang bahkan tidak cukup untuk membeli kebutuhan pokok, termasuk susu anak. "Ini bukan semata soal nominal tunjangan, tetapi lebih pada keadilan distribusi dan pengawasan. Guru di kota besar, terutama yang sudah berstatus PNS, bisa menerima gaji besar. Namun bagaimana nasib guru honorer di desa terpencil yang bahkan harus menyeberangi sungai atau naik perahu hanya untuk bisa sampai ke sekolah tempat mereka mengajar?" ujar salah satu pengamat pendidikan.
Hal yang sama juga disuarakan para aktivis pendidikan. Mereka menekankan bahwa distribusi anggaran yang besar tidak boleh hanya terserap pada birokrasi atau kelompok guru tertentu, tetapi harus menyentuh mereka yang paling membutuhkan. "Kita tidak bisa menutup mata bahwa ada guru di pelosok yang kerjanya setara tiga orang, tetapi gajinya hanya separuh. Jika kita bicara soal pemerataan, maka kesejahteraan guru di lapisan terbawah juga harus menjadi prioritas," ujar seorang aktivis pendidikan yang kerap menyuarakan isu kesejahteraan tenaga pengajar.
Kritik lainnya datang dari kalangan masyarakat sipil yang menilai pemerintah harus lebih serius dalam mengawasi penggunaan anggaran. Sebab, tanpa pengawasan yang ketat, kebocoran anggaran rawan terjadi. "Kita harus tetap berisik, tetap bertanya, tetap mengawasi. Jika rakyat diam, uang bisa bocor, data bisa dibungkus, dan janji hanya menjadi pajangan di baliho. Padahal, jika serius, lima tahun ke depan bisa menjadi titik balik dalam sejarah pendidikan Indonesia," ujar seorang akademisi yang juga menaruh perhatian pada kebijakan publik.
Di sisi lain, publik juga mempertanyakan keadilan alokasi anggaran negara. Ada yang menyindir bahwa anggaran besar untuk DPR seharusnya bisa dipangkas sedikit saja untuk menambah kesejahteraan guru honorer. "Kalau tunjangan DPR tidak mau dikurangi, padahal jumlah mereka hanya ratusan, sementara ratusan ribu guru masih hidup dalam keterbatasan, di mana letak keberpihakan negara terhadap pendidik?" ujar seorang netizen yang menuliskan kritiknya di media sosial.
Kenaikan tunjangan guru dan dosen jelas patut diapresiasi sebagai langkah maju. Namun, apresiasi itu harus dibarengi dengan kesadaran bahwa pekerjaan rumah masih panjang. Pemerintah harus memastikan keadilan distribusi, transparansi penggunaan anggaran, dan keseriusan dalam menjadikan pendidikan sebagai fondasi utama pembangunan bangsa. Tanpa itu semua, kenaikan angka triliunan hanya akan menjadi catatan di atas kertas, bukan perubahan nyata di ruang kelas pelosok negeri.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI