Indonesia disebut-sebut sedang menuju puncak bonus demografi. Fase emas yang katanya akan membawa negeri ini menuju kejayaan ekonomi. Tapi, bagaimana jika justru sebaliknya yang terjadi? Bagaimana jika bonus ini berubah menjadi beban, akibat kebijakan yang salah arah dan pengelolaan sumber daya manusia yang minim keseriusan?
Dalam berbagai pidatonya, Wakil Presiden kerap memotivasi generasi muda untuk tumbuh, berkembang, dan berinovasi. Namun ironisnya, ia sendiri merupakan figur yang tumbuh dari lingkungan penuh privilese dan nepotisme. Ketika berbicara tentang bonus demografi dimana Indonesia akan memiliki ratusan juta penduduk usia produktif,beliau lupa bahwa dirinya adalah bagian dari pemerintahan yang seharusnya menjadi penggerak kebijakan konkret, bukan hanya sekadar penyemangat retoris.
Menurut kajian dalam buku The Demographic Dividend, terdapat empat syarat utama yang harus dipenuhi agar bonus demografi benar-benar membawa manfaat:
Pendidikan yang berkualitas dan merata
Infrastruktur kesehatan yang kokoh
Lapangan pekerjaan yang luas dan layak
Jaminan sosial yang menjangkau seluruh lapisan masyarakat
Sayangnya, dari keempat poin tersebut, Indonesia masih jauh dari kata siap.
Pendidikan: Tingkat lulusan sarjana di Indonesia hanya sekitar 4%. Sementara Malaysia sudah mencapai 75%, dan Korea Selatan bahkan menyentuh angka 90%. Lebih miris lagi, mayoritas tenaga kerja di Indonesia masih lulusan SD ke bawah. Ironisnya, anggaran pendidikan justru dipangkas, dan lebih kecil dibandingkan anggaran kepolisian.
Kesehatan: Pandemi COVID-19 menjadi bukti rapuhnya sistem kesehatan nasional. Banyak lansia yang tidak terjangkau layanan kesehatan yang layak. Jaminan hari tua pun masih jauh dari harapan.
-
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!