Bisa dibilang, aku adalah saksi sekaligus orang yang paling berjasa bagi mereka berdua. Tak heran, mereka selalu baik kepadaku, kepada anak dan istriku. Mereka selalu membantuku dikala datang kesusahan yang tak bisa terlewati. Inilah yang disebut dengan tanaman yang baik, mungkin.
Kami menjamu Fin dengan masakan kesukaannya, sup makaroni. Dia habis cukup banyak, begitu pula dengan anakku yang juga mengidolakan Fin. Melihat seyumannya, aku semakin ragu untuk memberitahunya sesuatu tentang Kiasa. Hatiku terlalu lunak untuk melukai seorang lelaki yang sejak lahir tak pernah hidup dengan cinta, seperti yang diberikan oleh Kiasa.
Satu malam berlalu, aku sedikit lega, karena anakku mampu mengalihkan perhatian Fin. Dia tak lagi memikirkan Kiasa. Tetapi, Fin masih punya waktu cukup banyak untuk singgah di sini. Dan untuk mendengaran ceritaku yang mencoba untuk menyembunyikannya.
"Kau kenapa, Romero?" tanya Fin yang melihatku melamun,
"Ah, tidak apa Fin aku hanya sedikit pusing, ada beberapa masalah yang sedang ku hadapi dan seakan menumpuk di kepalaku,"
"Kau bisa bercerita kepadaku, mungkin aku bisa membantumu,"
Aku masih terdiam dan menatap sudut hati Fin yang terlihat begitu gembira. Mungkinkah, aku harus menghancurkan tawanya itu. Tetapi, Fin harus tahu kenyataan yang sebenarnya yang dialami oleh Kiasa. Aku jadi semakin bimbang dengan keadaan ini.
"Kau sudah tak percaya denganku lagi?"
Aku menghela nafas panjang, istriku berdiri melihatku di belakang pintu sembari memanjatkan sebuah doa. Dia tampak panik, walaupun dia tak sepanik diriku. Aku benar-benar gugup, keringatku keluar melalui pori-pori yang terbuka begitu saja.
"Kenapa Romero? Ceritalah, akan ku dengarkan dengan baik!"
Aku pun menceritakan tentang kondisi Kiasa yang semakin parah. Penyakit yang dideritanya menggerogoti seluruh jiwanya. Dia terbaring lemah di rumah yang selalu menjadi tempatnya menunggu Fin. Gagal Ginjal yang diderita Kiasa menjadi penyakit yang sangat serius