Mohon tunggu...
Muhammad Rizky Fajar Utomo
Muhammad Rizky Fajar Utomo Mohon Tunggu... Lainnya - Personal Blogger

part-time dreamer, full-time achiever | demen cerita lewat tulisan | email: zawritethustra@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

#kubukabukuku Gerakan Feminis Lesbian: Studi Kasus Politik Amerika 1990-an

15 Mei 2022   18:45 Diperbarui: 12 Juni 2022   09:23 771
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Dokumentasi Pribadi

Pada suatu saat, aku scrolling produk-produk yang ada di etalase digital sebuah toko buku. Di sana aku melihat ada sebuah judul buku yang kemudian menarik diriku untuk membacanya. Buku ini ditulis oleh Triana Ahdiati dan berjudul Gerakan Feminis Lesbian: Studi Kasus Politik Amerika 1990-an. 

Judul buku ini menarik perhatianku karena memicu rasa penasaranku mengenai dinamika yang dialami oleh kaum LGBTQ, khususnya kaum homoseksual, yang bisa menyentuh panggung politik -- mengingat bahwa di Indonesia jangankan untuk berpolitik, untuk menunjukan representasi identitas diri dan/atau kelompok sebagai homoseksual saja sangatlah sulit. Mungkin saat membacanya, kalian akan terbesit (mungkin juga merasa marah) "lha iya tentu saja bisa masuk ke panggung politik, Amerika itu kan negara liberal. Beda sama Indonesia, jangan disamain!"

Justru inilah yang kemudian juga menarik perhatianku: apakah benar hal tersebut bisa terjadi karena memang Amerika merupakan negara yang menghormati kebebasan? Setelah kubaca buku ini, aku sampai pada kesimpulan bahwa kontribusi Amerika sebagai negara (yang di kemudian hari) terbuka merupakan salah satu dari sekian banyak kontribusi yang ada (kalo menurutku sih, Amerika sebagai negara terbuka juga merupakan hasil dari dinamika politiknya). 

Hal ini bisa kita temukan dalam buku ini mengenai perlakuan masyarakat terhadap homoseksualitas, dan sebagaimana kaum homoseksual di seluruh dunia, kaum homoseksual di Amerika mereka juga mendapat perlakuan yang tidak menyenangkan: mulai dari tatapan sinis di muka umum hingga dikucilkan dari masyarakat atau komunitas. Oleh karena inilah banyak pihak merasa butuh gerakan untuk melawan subordinasi terhadap kaum homoseksual, dan kemudian memicu agenda revolusioner kaum feminis lesbian yang menggairahkan mereka hingga ranah politik.

Mengenal Feminis Lesbian


Feminis lesbian merupakan sebuah ideologi terapan yang berasal dari dua ideologi yang telah berkembang terlebih dahulu, yaitu feminisme dan lesbianisme. Ideologi ini kemudian menjadi landasan bagi para penggeraknya untuk mewujudkan idealisme serta mencapai tujuan dalam pergerakannya. Dalam bukunya, Triati membedakan perbedaan feminisme sebagai ideologi dan teori; sebagai sebuah ideologi, feminisme bersandar pada oposisi dialektis terhadap seluruh ideologi dan praktik penderitaan (misogini). Sedangkan sebagai sebuah teori, feminisme bersifat holistik dan memusatkan perhatiannya pada hakikat penindasan global kaum perempuan serta subordinasinya terhadap laki-laki. Melalui teori dan praktiknya, feminisme bertujuan untuk membebaskan seluruh perempuan dari supremasi dan eksploitasi yang mengikutinya.

Sementara feminisme lebih merupakan konteks yang bersifat sosiopolitis, lesbianisme merupakan konteks yang lebih dipandang dalam ranah seksualitas. Lesbianisme lebih dilihat sebagai kategori seksual, yaitu female homosexuality, yang menitikberatkan pada istilah-istilah sexual behavior dan sexual identification. Kendati demikian, sebagai bagian dari feminisme, lesbianisme dilihat sebagai kategori women identified experience ketimbang sekedar isu genital sexuality. Hal ini dikarenakan bahwa lesbianisme dalam feminisme tak hanya dilihat sebagai homo erotic desire namun juga, lebih luas dari itu, diartikan seabgai pengalaman kaum perempuan yang secara khusus melibatkan ikatan sosial, emosional dari para perempuan.

Stimulan Gerakan Feminis Lesbian

Rasa emosional dan keterikatan sosial terhadap perempuan serta isu-isu sosial yang cenderung timpang gender sepanjang tahun 1950 sampai dengan 1960-an menjadi 'konsolidator' yang menggerakan kaum feminis dan lesbian untuk membela hak-haknya sebagai warga negara. Pemebentukan organisasi kemudian dilakukan, begitu pun dengan agenda-agenda mereka yang mereka laksanakan kemudian. Pada saat pergerakan tersebut dilaksanakan, Civil Rights Movement yang memang sedang marak terjadi di Amerika dan belahan dunia lainnya mendapatkan tempat di hati para penggerak Women's Liberation Movement (women's lib), yang lahir dari berdirinya NOW (The National Organization of Women) pada akhir Oktober 1964, untuk meletakan semangat revolusionernya melalui Civil Rights Movement. Civil Rights Movement sendiri merupakan gerakan yang menekankan pada tuntutan pembebasan hak-hak asasi manusia bagi mereka yang merasa tertekan atau bahkan tertindas, yang dalam konteks ini tak hanya perempuan, namun juga para homoseksual; gay dan lesbian, juga termasuk di dalamnya.

Stimulan gerakan feminis lesbian ini pun tidak terbatas pada menggemanya Civil Rights Movement, namun juga New Left yang pada saat itu muncul sebagai reaksi balik dari kondisi Amerika di akhir tahun 1950-an. Banyak orang-orang New Left yang sepakat dengan pernyataan bahwa "definisi peran yang ketat antara maskulinitas dan feminitas dalam masyarakat Amerika adalah sebuah contoh dari betapa kakunya (rigiditas) dan represifnya masyarakat Amerika". 

Sebagai kaum yang mendapatkan rigiditas maskulinitas-feminitas dan perlakuan represif dalam lingkungannya, kaum homoseksual merasa terdukung dengan pemikiran yang digaungkan oleh orang-orang New Left. Kedua fenomena ini menjadi stimulan bagi kaum tertindas, khususnya homoseksual baik gay maupun lesbian, untuk menyuarakan idealisme-idealisme mereka yang selama ini terpendam, tidak hanya menyadarkan mereka untuk melangkah melainkan juga membuka mata bangsa Amerika secara umum bahwa ternyata ada janji-janji kemerdekaan.

Kolaborasi Feminisme

Keterkaitan sosial dan emosional dalam landasan ideologi dan idealisme mengenai ketertindasan serta subordinasi, yang di satu sisi diperjuangkan oleh kaum feminis dan di sisi lainnya diperjuangkan juga oleh kaum lesbian, telah melahirkan sebuah golongan baru yang merepresentasikan keduanya sekaligus; kaum lesbian yang berjuang dalam kerangka perjuangan feminis muncul dengan "wajah" baru yang lebih solid sebagai kaum feminis lesbian, yang mana jelmaan antara keduanya sekaligus ini memfokuskan diri pada isu-isu seputar perempuan dan kehidupannya.

Kolaborasi gerakan ini dapat terjadi berkat sebuah kelompok aktivis perempuan The Lavender Menace yang dalam sebuah presentasi di kongres perempuan New York pada 1 -- 3 Mei 1970 mendeklarasikan "the woman-identified woman" serta mengatakan bahwa lesbianisme lebih merupakan sebuah bentuk pilihan politik ketimbang orientasi seksual semata. Hal ini ditegaskan oleh Charlotte Bunch, yang mana baginya secara esensial hubungan antara laki-laki dan perempuan adalah bersifat politis karena menekankan pada kekuatan serta dominasi, dan selama perempuan memilih perempuan dalam kehidupannya itu berarti kaum lesbian sedang membangun sebuah sistem politik dalam kelesbianannya.

Kendati aktif dalam menyuarakan idealisme melalui berbagai aksi demonstrasi, ternyata semuanya ini tidak berjalan tanpa rintangan. Gerakan feminis lesbian pada saat itu mendapat tantangan internal dan eksternal. Tantangan internal hadir dari adanya perpecahan berujung gerakan separatisme di kemudian hari, dan tantangan eksternal hadir dalam bentuk ketika gerakan feminis lesbian ini ternyata 'mengisi' tempat sebagai lawan bagi 'kelompok sayap kanan' di Amerika yang merupakan orang-orang konsevatif dengan beragam latar belakang.

Separatisme Dalam Gerakan Feminis NOW (The National Organization of Women)

Kolaborasi gerakan yang terjadi pada tahun 1970-an di kemudian hari menimbulkan friksi yang semakin mengkristal. Kaum feminis lesbian yang bergabung dalam NOW menyadari bahwa woman-identified woman yang menjadi landasan gerakan mereka hanya merupakan wacana bagi para aktivis. Hal ini diungkapkan oleh feminis lesbian Ruth Mahaney sebagai sesuatu yang aneh; "I don't understand you, woman. You do your political work with women, but you go home to a man...." Apa yang dikatakan Ruth Mahaney menunjukan bahwa kaum feminis heteroseksual melakukan tindak kemunafikan yang tidak bisa ditoleransi karena pada kesehariannya mereka masih bergantung pada laki-laki. Kemunafikan yang dilakukan ini bertentangan dengan idealisme yang sedang mereka perjuangkan, di mana perempuan harus keluar dari superioritas laki-laki.

Friksi yang terjadi antar anggota NOW pun tidak semata diakibatkan oleh kaum feminis lesbian, melainkan juga kaum feminis heteroseksual. Betty Friedan, salah seorang aktivis di NOW, mencemaskan gerakan feminisme yang sedang diperjuangkannya akan disamakan dengan gerakan lesbianism oleh musuh perjuangannya. Hal ini mengingat bahwa peranan yang dilakukan oleh kaum feminis lesbian secara signifikan sangat berpengaruh dalam organisasi karena mereka-mereka lah yang paling bekerja keras dan beberapa merupakan anggota terbaik. Friksi yang mengkristal di antara kedua pihak inilah yang kemudian mengakibatkan para aktivis mundur satu per satu dari kolaborasi gerakan yang telah mereka lakukan selama ini.

Separatisme ini merupakan salah satu strategi politik kaum feminis lesbian di mana kaum feminis lesbian mengundurkan diri untuk sementara waktu dari aktivisme pokok tetapi tetap mengeksplorasi identitas lesbian sekaligus mengembangkan isu-isu yang dapat menarik perhatian-perhatian para aktivis lainnya atas perjuangan mereka. Aktivis feminis lesbian yang memisahkan diri kemudian membentuk sebuah perkumpulan bernama The Furies yang menjadi wadah bagi para teoretisi feminis lesbian untuk berkiprah dan memperjuangkan harkat serta martabatnya.

Proyek perjuangan mereka pun beragam; salah satunya, melalui analisa yang dilakukan, para teoretisi yang tergabung dalam The Furies ini mendapati bahwa heteroseksisme merupakan batu loncatan bagi dominasi, bagi supremasi, laki-laki terhadap perempuan.  Tak hanya itu, mereka pun memiliki proyek yang disebut sebagai 'budaya tanding lesbian' terhadap budaya feminis heteroseksual; di mana dalam budaya tanding ini, kaum feminis lesbian semakin mengukuhkan kebanggaan dalam diri mereka baik sebagai lesbian maupun perempuan. Kebanggaan itu mereka tunjukan melalui berbagai proyek perjuangan yang direncanakan dengan baik seperti menerbitkan jurnal-jurnal, membuka toko-toko buku yang menyediakan bacaan-bacaan seputar lesbianisme, menyelenggarakan festival serta mendirikan perusahaan rekaman. Melalui proyek ini, mereka ingin membuktikan bahwa ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan; bahwa perempuan lebih superior daripada laki-laki.

Mencapai Masa Transisi, Menuju Kontestasi

Pasca gerakan separatis yang dilakukan oleh feminis lesbian dan kembali menemukan puncaknya pada tahun 1980-an awal, perjuangan mereka diwarnai dengan dua isu utama, yaitu AIDS dan Keluarga Lesbian. Pada masa itu, AIDS merupakan penyakit yang banyak diderita oleh kaum gay karena gaya hidup dan kebiasaan seks yang mereka lakukan, sehingga pada masa yang sama homoseksualitas merupakan momok bagi masyarakat Amerika; terlebih lagi setelah meninggalnya aktor Rock Hudson, yang juga merupakan seorang gay, pada tahun 1985 karena AIDS. Isu ini pun membangkitkan gerakan konservatif anti-homoseksualitas, yang di kemudian hari diiringi dengan perundungan hingga penganiayaan terhadap kaum homoseksual.

Selain AIDS, ada pula isu Keluarga Lesbian. Isu ini bermula dari keinginan kaum lesbian untuk mempunyai dan merawat anak, namun keinginan mereka ini terhalang oleh hukum, peraturan yang berlaku, serta prasangka-prasangka yang didasari oleh asumsi bahwa seorang anak yang dibesarkan oleh seorang homoseks akan menjadi seorang homoseks pula. Banyaknya serangan yang dilancarkan secara keseluruhan dan penderitaan yang dirasakan oleh kaum lesbian khususnya, terutama yang disebabkan oleh munculnya dua isu utama tersebut, menjelang akhir 1980-an hingga 1990-an, menciptakan krisis kepercaayaan diri bagi kaum feminis lesbian untuk meneruskan perjuangnnya sehingga pada periode ini kelanjutan pergerakan feminis lesbian tidak begitu signifikan. Fenomena inilah yang kemudian menandai stagnansi gerakan feminis lesbian.

Alih-alih dianggap sebagai kematian sebuah gerakan bagi Susan Brownmiller, aktivis feminis lesbian tahun 1970-an, para aktivis feminis lesbian tahun 1990-an menganggap masa-masa stagnansi ini sebagai masa evaluasi pergerakan para feminis lesbian sebelumnya; di mana mereka menyadari bahwa aktivis feminis lesbian sebelum 1990-an tidak mencapai tujuannya, yaitu terhapusnya sex-gender systems yang merupakan bentuk dominasi laki-laki terhadap perempuan. Berangkat dari sinilah para aktivis feminis lesbian Amerika tahun 1990-an mengalami masa transisi. Pada masa ini, aktivis feminis lesbian melakukan gerakan yang berbeda dengan generasi sebelumnya baik dalam segi bentuk dan substansi.

Ada dua tahapan yang dilalui oleh aktivis feminis lesbian Amerika 1990-an pada masa ini. Tahapan pertama adalah memperbaiki dan meningkatkan kinerja perjuangan kaum feminis lesbian untuk mendapatkan hasil yang lebih baik dan maksimal. Dalam tahapan pertama ini, terdapat perubahan dari bentuk dan pola perjuangan yang cenderung eksklusif dan separatis, menjadi perjuangan yang inklusif dan politik praktis. Para aktivis feminis lesbian menyadari bahwa sebagai bagian dari masyarakat Amerika, mereka tidak terlepas dari masyarakat Amerika itu sendiri, dan dan inilah yang luput dari perhatian para aktivis feminis lesbian sebelum 1990.

Kesadaran kaum feminis lesbian di Amerika untuk berpartisipasi aktif secara politis ternyata disambut dan didukung oleh sebagian masyarakat Amerika, baik dari kalangan sipil maupun elit politik. Hal ini menjadi angin segar bagi aktivis feminis lesbian sekaligus menjadi tahapan kedua di mana mereka menyadari bahwa untuk tetap eksis serta memenuhi hak-hak yang dituntutnya agar tetap juga bisa dijalankan di tengah masyarakat, mereka harus bisa menunjukan kehadiran kaumnya. 

Namun, tidak hanya sebatas mendapatkan pengakuan akan kehadiran, melainkan juga terjaminnya hak-hak mereka sebagai warga negara Amerika yang terlegitimasi. Demi mendapatkan legitimasi inilah aktivis feminis lesbian memutuskan untuk berjuang secara politis guna mendapatkan posisi di lembaga-lembaga politik yang memiliki wewenang mewujudkan idealisme, kepentingan mereka, serta mengaktualisasikan hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang mereka miliki sebagaimana warga negara Amerika pada umumnya.

Pemilihan Anggota Kongres 1998: Konsistensi dan Persistensi Demi Identitas

Pada tahun 1998, beberapa individu yang merepresentasikan kaum feminis lesbian dengan terbuka mengikuti proses pemilihan anggota Kongres Amerika sebagai kandidat representative yang mewakili masing-masing negara bagiannya. Mereka memanfaatkan momen ini bukan hanya terbatas pada tujuan mewujudkan legitimasi, namun juga untuk menunjukan konsistensi serta persistensi mereka melalui kemampuan berpolitik mereka; bahwa mereka mampu bersaing dengan kelompok-kelompok yang berpengaruh dalam kehidupan masyarakat Amerika. Sikap terbuka ini pun juga telah merupakan bagian dari idealisme serta konsistensi mereka terhadap keberadaan dan peran mereka sebagai golongan minoritas yang ingin mendapatkan hak-haknya dengant etap mempertahankan identitas mereka.

Kontestasi politik untuk menjadi 'representative' ini juga merupakan suatu bentuk keterbukaan feminis lesbian karena pasca masa transisi di tahun 1990-an, mereka tidak lagi membatasi ruang gerak perjuangannya hanya pada pelaku-pelaku dan hal-hal tentang perempuan saja; yang itu berarti, mereka yang tidak termasuk kaum feminsi lesbian, namun bersimpati dan memiliki haluan perjuangan yang sama, dapat berkolaborasi dengan kaum feminis lesbian untuk mewujudkan idealisme gerakannya. Hal ini kemudian menjadi penting dalam proses pemilihan kongres karena nuansa politik di dalamnya sangat memungkinkan untuk melaksanakan tarik-menarik kepentingan dalam kerangka kolaborasi.

Konsistensi dan persistensi feminis lesbian dalam memperjuangkan tujuannya melalui pemilihan kongres 1998 direpresentasikan oleh Cammermeyer dan Baldwin, yang mana keduanya tak hanya kelak akan mewakili negara bagiannya namun juga gerakan feminis lesbiannya. Alasan mengapa Cammermeyer dan Baldwin tidak mengajukan diri mereka menjadi congresswomen dengan menggunakan identitas mereka sebagai perempuan adalah karena mereka menganggap bahwa idealisme dan keberadaannya belum diwakilkan oleh para perempuan dalam lembaga politik tersebut -- kendati terdapat kaum homoseksual di dalam lembaga tersebut, seperti Barney Frank dan Jim Kolbe. Setelah melalui perjuangan dalam pemilihan anggota kongres, hasil menyatakan bahwa hanya Baldwin lah yang berhasil dan keberhasilan Tammy Baldwin menjadi congresswomen semakin mempertegas eksistensi feminis lesbian di Amerika.

Konsistensi dan persistensi kaum feminis lesbian untuk memenangkan pemilihan anggota kongres tidak hanya terbatas pada upaya meraih legitimasi serta wewenang semata, namun juga merupakan suatu bentuk pengkristalan identitas. Hal ini bisa kita lihat pada representasi serta politik identitas yang digunakan oleh kaum feminis lesbian untuk meraih tujuan politis yang diharapkannya. Identitas telah mendasari pergerakan kaum feminis lesbian dalam proses pemilihan kongres 1998. Ia menjadi mobilisator politik, tidak hanya bagi kaum feminis lesbian, namun juga bagi kelompok-kelompok minoritas dan marjinal yang berada pada suatu alur perjuangan yang sama. Identitas juga menjadi suatu kebanggaan yang merefleksikan kekuasaan untuk membentuk sebuah komunitas feminis lesbian yang insitusional dan terlegitimasi. Kaum feminis lesbian berhasil mengorganisasi diri mereka melampaui stigmatisasi hingga mencapai legitimasi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun