Mohon tunggu...
Muhammad Rizky Fajar Utomo
Muhammad Rizky Fajar Utomo Mohon Tunggu... Lainnya - Personal Blogger

part-time dreamer, full-time achiever | demen cerita lewat tulisan | email: zawritethustra@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Tren Thrift Shop di Indonesia: Dalam Bayang-bayang Subkultur dan Gentrifikasi Pakaian

10 Januari 2021   19:34 Diperbarui: 10 Januari 2021   22:11 4230
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Seiring dengan pertumbuhan populasi perkotaan, hal tersebut membuat ukuran ruang hidup menyusut dan banyak pakaian-pakaian yang menumpuk dan biasanya barang-barang, khususnya pakaian, yang menumpuk dan sudah tidak terpakai tadi akan diambil oleh para imigran untuk kemudian dipakai kembali.

Tahun 1897: Pakaian Bekas dan Berdirinya Shelter 'Salvage Brigade'

Masih sekitar tahun 1840-an, Salvation Army, salah satu NGO (Non-Government Organization) Gereja Protestan, memutuskan untuk fokus mengumpulkan barang-barang yang tidak terpakai tersebut menjadi sebuah donasi. Salvation Army membagikan barang-barang, seperti alat-alat rumah tangga hingga pakaian yang sudah tidak terpakai namun masih berfungsi kepada mereka yang kurang mampu serta membutuhkan. Barulah di tahun 1897 Salvation Army mengeluarkan sebuah shelter yang diberi nama 'Salvage Brigade'. 

Kemudian mereka membuat pengumuman bagi orang-orang yang merasa sudah kelebihan pakaian dan menumpuk bisa disumbangkan ke Salvation Army. Tak hanya itu, Salvage Brigade juga melakukannya secara pro-aktif yakni bekerja sama dengan penduduk di lingkungan sekitar berkeliling menggunakan gerobak dorong untuk meminta pakaian bekas, bahkan tidak hanya pakaian, Salvage Brigade juga membeikan makanan serta layanan sosial lainnya untuk para imigran dan warga sekitar yang membutuhkan.

Tahun 1920--1935-an: The Great Depression dan Bangkitnya Retail Thrift Shop

Tahun 1920, Amerika mengalami Great Depression sehingga banyak orang yang tidak bisa memiliki pekerjaan dan 'gong'-nya adalah saat jatuhnya bursa saham New York. Saat itu, banyak masyarakat bahkan tidak mampu membeli pakaian baru, sehingga mereka memilih alternatif untuk berbelanja di thriftshop, sedangkan untuk orang yang masih berkecukupan, tempat ini (thrift store) dijadikan target untuk mendonasikan pakaian mereka.

Pada masa ini, thrift store dikategorikan sebagai departemen store. Goodwill Industries merupakan salah satu thrift store terbesar di Amerika Serikat yang memiliki stok lebih dari seribu pakaian dan peralatan rumah tangga. Pada tahun 1935, ada hampir 100 toko Goodwill Industries di seluruh negeri dan toko barang bekas menghabiskan setengah dari anggaran tahunan Salvation Army saat jatuhnya pasar saham pada tahun 1929. Pergerakan ini pun berhasil mengubah stigma "the junk shops" mengenai thrift shop menjadi "a different approach to charity".

Tahun 1970-an: Bangkitnya Thrift Shop Besar 'Buffalo Exchange'

Buffalo Exchange menjadi thrift shop pertama yang sukses membuka cabang ke-17 'states across the US' dan memiliki total cabang hingga 49 gerai. Buffalo Exchange tidak hanya menjual pakaian bekas dan melayani transaksi jual-beli, namun juga  para pelanggan dapat menukar dan menjual pakaiannya di sana. 

Jika menjual barangnya, pelanggan akan mendapatkan keuntungan (persenan) dari hasil penjualan. Markas Buffalo Exchange sendiri berada di Tucson, Arizona, Amerika Serikat, tepat di mana Kerstin Block sang pemilik usaha ini pertama kali membuka tokonya pada tahun 1974.

Tahun 1990-an: Kurt Cobain dan Terbitnya 'Thrifting' Sebagai Subkultur Grunge

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun