Mohon tunggu...
Muhammad Rizky Fajar Utomo
Muhammad Rizky Fajar Utomo Mohon Tunggu... Lainnya - Personal Blogger

part-time dreamer, full-time achiever | demen cerita lewat tulisan | email: zawritethustra@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Tren Thrift Shop di Indonesia: Dalam Bayang-bayang Subkultur dan Gentrifikasi Pakaian

10 Januari 2021   19:34 Diperbarui: 10 Januari 2021   22:11 4230
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Lagipula, tren menjual pakaian bekas dengan harga setara pakaian baru dan orisinil yang dibanderol hingga ratusan ribu per potongnya (/pcs), hanya karena barangnya langka dan dari 'brand' ternama, bukanlah konsep thrifting demi mengurangi limbah tekstil melainkan hanya salah satu konsep kapitalisme di mana dengan modal sedikit, harus bisa mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya. 

Karena jika kita melihat ke belakang, thrifting erat kaitannya dengan strategi bertahan hidup masyarakat kelas bawah dan antitesis atau bentuk perlawanan dari industri fast fashion dengan menggunakan/memakai ulang pakaian yang masih layak pakai dengan harga murah yang bertujuan mengurangi limbah pakaian itu sendiri.

Kendati demikian, nampaknya tren thrifting dan thrift shop ini dapat juga menjadi sesuatu yang positif tanpa harus sedikitpun menjadi suatu bentuk gentrifikasi pakaian; mengusir masyarakat kelas bawah dalam mendapatkan ruang untuk membeli pakaian. Kita dapat mendukung para pedagang pakaian bekas agar tetap mendapatkan pemasukan dengan catatan mungkin tidak menjualnya kembali dalam harga yang tinggi. 

Tentu saja hal ini bertujuan agar pada pedagang pakaian bekas tidak ikut-ikutan menaikan range harganya yang akan berdampak pada hilangnya ruang belanja masyarakat kelas bawah. Jika pun ingin menjualnya, mungkin dengan harga yang tidak relatif mahal agar masyarakat kelas bawah masih bisa berbelanja pakaian yang layak sekalipun pakaian itu bekas.

Sisi positif lainnya adalah heterogenitas konsumen masih terjaga dan bukannya mengarahkan pada homogenitas sebagaimana yang terjadi pada gentrifikasi. Maksudnya adalah thrifting masih bisa dinikmati oleh masyarakat dari kelas sosial lainnya tanpa sedikitpun menjadikannya sebagai tren yang identik dengan masyarakat kelas sosial ini atau masyarakat kelas sosial itu. 

Lagipula, jika gentrifikasi pakaian terjadi pada tren thrift shop yang sedang marak belakangan ini, bayangkan saja jika tren  ini sudah tidak populer. Mau dikemanakan stok baju bekas yang hendak kita jual? Bukankah dengan tren yang sudah tidak populer tersebut, stok pakaian bekas tersebut belum tentu laku dengan cepat dan justru malah berpotensi hanya menjadi tumpukan-tumpukan pakaian di dalam karung? Bagaimana kita bisa yakin bahwa masyarakat kelas menengah ke atas yang notabenenya adalah pangsa pasar thrift shop saat ini, baik yang dijual secara online maupun offline baru-baru ini, tidak akan pindah ke retail yang menjual pakaian baru?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun