Mohon tunggu...
Muhammad Rizky Fajar Utomo
Muhammad Rizky Fajar Utomo Mohon Tunggu... Lainnya - Personal Blogger

part-time dreamer, full-time achiever | demen cerita lewat tulisan | email: zawritethustra@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Tren Thrift Shop di Indonesia: Dalam Bayang-bayang Subkultur dan Gentrifikasi Pakaian

10 Januari 2021   19:34 Diperbarui: 10 Januari 2021   22:11 4230
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Siapa yang tidak tahu Kurt Cobain? Bagi  yang belum tahu, Kurt Cobain adalah seorang musisi grunge yang menjadi panutan banyak anak muda pada tahun 90-an bahkan hingga saat ini. Tahun 90-an adalah era di mana Kurt Cobain sedang jaya-jayanya dan menjadi panutan banyak anak muda. 

Bersama sang istri, Courtney Love, Kurt secara tidak langsung mempromosikan thrifting style dengan gayanya yang identik dengan celana jeans robek, kemeja flannel, kemeja atau kaos bolong-bolong, hingga cukup banyak lapisan atau layering yang dikenakannya saat itu. Pada saat itu, jika kita ingin memiliki pakaian dan berpenampilan seperti Kurt Cobain, maka kita harus pergi ke thrift store untuk mencari barang-barang seperti itu, karena di masa itu retail shop tidak menjual pakaian dengan model seperti itu. 

THRIFT SHOP MENJADI PELUANG BISNIS YANG MENJANJIKAN

Indonesia sendiri belakangan ini sedang mengalami tren thrifting, di mana secara sporadis kemunculan thrift shop online maupun offline 'meracuni' para kaum milenial. Industri ini juga semakin besar di Indonesia dengan ditandai semakin maraknya milenial yang mulai bangga menggunakan barang 'second' atau bekas. Hal ini dirasa, mungkin tercermin dari proses mendapatkannya yang sulit hingga barang branded yang bisa didapatkan lebih murah dari setengah harga.

Mengenai fenomena ini, saya berkesempatan berbincang oleh teman saya, Firda (24 tahun) yang memiliki usaha di bidang ini dan diberi nama @mythriftoutfit_ di Instagram. Firda menuturkan bahwa dirinya memberanikan diri untuk memulai usaha sandang bekas ini karena terinspirasi oleh salah seorang influencer di sosial media yang dapat dikatakan berhasil menjadikan thrift shop sebagai lahan bisnis. Akhirnya ia berpikiran bahwa bisnis pakaian bekas memang ternyata dapat menjadi peluang bisnis yang menjanjikan dan memutuskan untuk menekuni bisnis thrift shop. Ia juga menuturkan bahwa sekalipun pakaian yang dijual-belikan adalah bekas, namun tetap harus memperhatikan kualitas baik dari segi daya kebertahanan kain hingga tingkat kebersihan pakaian.

Demi kepuasan dan rasa kepercayaan konsumen kepada usahanya, ia pun memilah dan membeli sendiri pakaian yang akan dijualnya sekaligus membersihkannya sendiri; mulai dari merendam di air panas dengan campuran garam hingga memberi pengharum pakaian dan menyetrikanya. Untuk tiap pakaian yang ia jual, ia membandrol harga yang cukup terjangkau, yakni kisaran Rp. 20.000 hingga Rp. 40.000 bahkan ada 'bundle' khusus juga yang ia buat tentu saja dengan harga yang lebih ekonomis. 

Dengan modal yang tidak terlalu banyak dan meningkatkan kepercayaan pelanggan yang ia dapatkan melalui reputasi pelayanan jualan online-nya, Firda dapat meraup keuntungan hingga ratusan ribu per harinya jika banyak pesanan. 

Menurut Firda, thrift shop digandrungi kebanyakan kaum milenial karena menjual pakaian yang pada umumnya tidak tersedia dan berbeda dengan yang dijual di toko retail. Baginya, thrift shop merepresentasikan ciri anak muda kebanyakan; dengan 'budget' minimum namun tetap dapat tampil keren dengan pakaian yang memiliki ciri khusus tertentu, dengan harga terjangkau, dan tentu saja kualitas yang tidak kalah bagus.

Sebagai peluang bisnis, thrift shop memang menjanjikan, apalagi menurut rilis data telah disebutkan bahwa thrift shop adalah salah satu industri yang dapat mendatangkan penghasilan besar. Melansir dari USS FEED, IBISWorld mengeluarkan data bahwa thrift store adalah bagian dari industri besar yang bernilai hingga $14.4 billion.

Hal ini tentu saja cukup menggiurkan bagi penggiat bisnis industri pakaian, khususnya pakaian bekas. Kendati demikian, jika kita lihat dari pemaknaan thrift shop pada masa sebelumnya, nampaknya tren thrift shop di Indonesia saat ini telah mengalami perubahan dalam pemaknaannya. Thrift shop yang dahulu diperuntukan oleh masyarakat kelas bawah seperti imigran, para pekerja kasar, buruh, dan lain sebagainya yang kurang mampu untuk membeli pakaian baru di retail, kini berubah menjadi lahan bagi para anggota subkultur dan pada beberapa kesempatan justru mengalami gentrifikasi pakaian.

THRIFT SHOP SEBAGAI PENYEDIA IDENTITAS SUBKULTUR

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun