Mohon tunggu...
Muhammad Rizky Fajar Utomo
Muhammad Rizky Fajar Utomo Mohon Tunggu... Lainnya - Personal Blogger

part-time dreamer, full-time achiever | demen cerita lewat tulisan | email: zawritethustra@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Nietzsche, Mati yang Hidup

29 Januari 2020   09:27 Diperbarui: 30 Januari 2020   13:06 882
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kenneth Rougeau - http://kennethrougeau.com

Tulisan ini kubuat dalam rangka memeringati kematian sang filsuf besar bagiku, Friedrich Wilhelm Nietzsche, jadi tulisan ini kutulis pada tanggal 22 Agustus dan  seharusnya diunggah pada saat hari kematiannya, yakni pada 25 Agustus. Nietzsche sebagai sosok filsuf besar tentu memiliki pengaruh yang luas, termasuk pada beberapa pemikiranku, setidaknya sedikit-banyaknya. 

Nietzsche merupakan filsuf yang selalu dipertimbangkan ini, selama dua abad lebih -- mulai dari hari kematiannya, hingga hari ini! Kita tentu mengenal atau sedikit banyaknya pernah mendengar atau membaca "Nietzsche". Namun, selain filosof besar, siapakah Nietzsche itu? Bagi penulis pribadi, sosok Nietzsche merupakan Nabi, yang tentu saja ini merupakan pembaptisan pribadi olehku. 

Aku membaptis demikian karena kegemilangan gagasan Nietzsche seperti suatu lorong yang sangat gelap dengan sedikit cahaya, dan kita berpetualang di dalamnya -- kita lah yang harus menyinari jalan kita sendiri. 

Bagi Heidegger, Nietzsche merupakan ujung garis filsuf besar; dimulai dari Sokrates dan berakhir di Nietzsche. Bagi sebagian orang ateis, Nietzsche merupakan penggagas ateisme paling mutakhir, sedangkan bagi sebagian orang beragama yang mengenalnya, Nietzsche merupakan dosa besar bahkan tak lebih merupakan hanya orang yang di akhir hidupnya dipenuhi kegilaan, kegamangan.

Perkenalanku dengan Nietzsche nampaknya sudah bertahun-tahun lamanya, dan akupun lupa bagaimana perkenalanku dengan dirinya tersebut. Namun sering bayangan yang nampak di ingatanku adalah bahwa aku mengenalnya melalui pembacaanku terhadap ateisme Sartre, yang aku lupa dalam buku berjudul apa, namun yang jelas saat itu nama Nietzsche seketika membuatku menarik; tentu saja, seperti kebanyakan orang, akupun membaca "Tuhan Telah Mati"-nya Nietzsche, namun bukannya melancarkan kutukan, caci-maki atau menjauhinya, aku malah tertarik mempelajarinya.

Friedrich Wilhelm Nietzsche lahir di Rocken (Saxe-Prussia) pada 15 Oktober 1844 dan merupakan anak dari Karl Ludwig serta Franziska Oehler. Mungkin banyak orang yang mengira bahwa Nietzsche lahir dari keluarga ateistik, yang menerapkan filsafat rigor, dan sebagainya, tentunya orang seperti ini menggunakan peribahasa "buah jatuh tidak jauh dari pohonnya". 

Baiklah, nampaknya itu tidak berlaku -- dan memang dalam beberapa kasus lebih sering tidak berlaku daripada berlaku, karena ayah Nietzsche adalah seorang pendeta Lutheran di Rocken, begitupun dengan kakek dan nenek buyut dari pihak ibunya. 

Semasa hidupnya, Nietzsche telah banyak menerbitkan karyanya dan yang paling populer adalah Maka Bersabdalah, Zarathustra! (Thus Spoke, Zarathustra!), yang merupakan kunci untuk memahami Ubermensch dan Kehendak Berkuasa karena di dalamnya Nietzsche secara mendalam, namun dalam tulisan aforisme, memaparkan kedua hal tersebut -- meski pada kenyataannya kita akan dihadapkan pada serangkaian teks-teks yang tidak terduga bahkan membuat kita berpikir berkali-kali.

Dikisahkan bahwa Zarathustra, seorang tokoh dalam sebuah mitos, dalam buku ini dikisahkan sebagai seorang nabi yang telah lama berdiam diri di gunung kemudian turun ke bumi untuk mengajarkan Ubermensch. Zarathustra mengajarkan manusia yang ditemuinya untuk mencintai bumi dan alam sebagai kebaikan tertinggi, mengajarkan manusia untuk menerima segala macam baik-buruknya segala sesuatu yang ada di bumi agar manusia dapat melampaui dirinya. 

Dalam karyanya inilah gagasan Nietzsche mengenai Tuhan Telah Mati sedikit-banyaknya diungkapkan -- setidaknya itulah yang aku rasakan saat membaca Maka Bersabdalah, Zarathustra.  Pada prolognya, dikisahkan:

Tatkala Zarathustra berusia tiga puluh tahun, ia meninggalkan rumah dan danau rumahnya pergi ke gunung-gunung.  Sepuluh tahun lamanya ia di sini bersukacita akan spiritnya serta penyendiriannya, sama sekali tidak merasa letih. Tetapi akhirnya hatinya berubah -- dan pada suatu pagi ia bangkit bersama fajar melangkah ke hadapan sang surya, lalu berseru padanya demikian:

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun