Mohon tunggu...
Rusdianto Samawa Tarano Sagarino
Rusdianto Samawa Tarano Sagarino Mohon Tunggu... Dosen -

Membaca dan Menulis adalah Mutiara Peradaban

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Media Islam Bukan Penjara Indonesia

22 Oktober 2015   08:02 Diperbarui: 22 Oktober 2015   08:02 35
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

Innalillahi wa inna ilahi raji’un, masyarakat Islam kembali berduka, bukan karena wafatnya seorang ulama atau tokoh Islam, melainkan karena rezim Jokowi telah membunuh kebebasan pers. Begitulah posting status pesan (private message) di berbagai media sosial mulai dari facebook, twitter hingga path.

Anehnya, pihak Menkominfo pada senin (30/3/2015) kemaren melayangkan surat kepada penyelenggara Internet Service Provider (ISP) untuk membredel sejumlah situs website berbasis Islam karena dituding mendukung ISIS dan penyebaran paham radikal. Surat tersebut, menindaklanjuti permintaan penutupan situs yang dianggap radikal atas perintah BNPT RI dengan nomor surat 149/K.BNPT/3/2015 tentang situs website radikal Islam.

Situs yang direkomendasikan, yaitu arrahmah.com, voa-islam.com, ghur4ba.blogspot.com, panjimas.com, thoriquna.com, dakwatuna.com, kafilahmujahid.com, an-najah.net, muslimdaily.net, hidayatullah.com, salam-online.com, aqlislamiccenter.com, kiblat.net, dakwahmedia.com, muqawamah.com, lasdipo.com, gemaislam.com, eramuslim.com, daulahislam.com dan lain sebaginya. Sesuai yang disampaikan pihak BNPT bahwa situs website tersebut merupakan penggerak paham radikal dan di maknai jihad ruang lingkup kecil. Demikian bunyi substansi surat resmi BNPT RI kepada menkominfo kemudian ditindak lanjuti ke provider internet.

Sejak diedarkannya surat tersebut, media Islam ada yang lumpuh, sebagian juga belum di blokir serta masih bisa diakses sampai sekarang. Atas tindakan konyol pemerintah yang tak substantif itu justru tidak menggurangi intensitas masyarakat Islam berdakwah melalui berbagai cara apapun, termasuk media sosial, seperti twitter, facebook, path dan lainnya.

Namun, perlu cermat menyikapi masalah ini karena beberapa bulan belakangan santer terdengar isu bangkitnya komunis dengan corak lain. Isu lain juga menyebar kerjasama pemerintah Indonesia dengan negeri Republik Islam Iran yang mayoritas Syiah yang di duga pemerintah melakukan kontrak untuk kebebasan Syiah di Indonesia. Selain itu, arus ekstrem dari isu penutupan media Islam ialah karena dianggap bagian dari rangsangan jihad paham radikal ISIS.

Beberapa isu diatas, bisa saja terjadi dengan indikator politik devide et impera bagi umat Islam agar terjebak dalam masalah-masalah sektarian. Perlu diketahui bahwa penutupan situs Islam dibilang penting disikapi dan tentu ini masalah kecil. Masyarakat Islam tidak harus merespon dengan cara negatif karena pembuatan dan produksi media berbasis provider internet itu sangat mudah. Dalam bahasa falsafah “mati satu tumbuh seribu”, ini bisa menjadi cambuk perkembangan Islam agar generasi mendatang bisa membuat situs website dan media sosial sebagai lahan dakwah terbuka seluas-luas dan menjadi antitesa paham radikal.

Sikap pemerintah melakukan pemblokiran sejumlah situs Islam tersebut jelas melanggar kebebasan pers, sebagaimana diatur undang undang pers nomor 40 tahun 1999 pasal 4 tentang kebebasan kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara. Kebebasan mendapat informasi juga merupakan salah satu tonggak penting alam demokrasi sebagai wujud nampak kedaulatan rakyat.

Lebih tragis ketika pemerintah tak memahami bahwa sejarah Islam dan media dakwah sudah lahir sebelum bangsa Indonesia merdeka. Media Islam justru memberi nafas suplemen pemikiran bagi masyarakat Indonesia yang dikenal majemuk. Karena itu, tidak boleh ada pengekangan apapun terhadap kebebasan pers apalagi campur tangan dengan alasan apapun.

Kalau saja alasan antisipasi penyebaran paham radikal, caranya bukan menyumbat berbagai media Islam, banyak cara elegan yang harus ditempuh. Perkembangan pemikiran Islam tak bisa dihentikan dengan regulasi blokir karena pemroduksian gagasan sebagai pandangan keyakinan ke berbagai bentuk media merupakan kebebasan yang tak dapat disangkal. Media Islam bukanlah penjara bagi Indonesia sehingga sekonyong-konyong harus di blokir.

Jika indaktor pemerintah bahwa media Islam penyebaran paham radikal tentu tidak objektif karena media lain yang terlarang juga banyak berperan sebagai perusak moral ideologi bangsa, seperti situs pornografi pornoaksi dan situs website paham radikal komunis Indonesia. Padahal paham porno dan komunis terbukti merusak moral bahngsa ini dan melebihi kejahatan kemanusiaan dibanding situs media Islam yang dituduhkan pemerintah.

Pemerintah harus mencabut dan kembalikan eksistensi situs media Islam, karena bisa saja situs-situs dakwah Islam lainnya akan tumbuh berjuta-juta. Masalah ini butuh kearifan pemerintah, bahwa cara pandang terhadap Islam tidak memakai kacamata kuda. Melihat masyarakat Islam harus dengan hati, otak dan pikiran yang positif agar output pemberantasan paham radikal juga positif adanya.

Konteks pemberantasan paham radikal, masyarakat Islam sebagai arus utama dalam program deradikalisasi BNPT RI sendiri bekerja sama dengan berbagai pesantren, ormas Islam hingga organisasi mahasiswa kampus. Upaya itu dihargai oleh seluruh level sosial masyarakat Islam. Namun, tindakan menutup paksa situs website sebagai alat dakwah sangat tidak dibenarkan.

Sekali lagi, media Islam bukan penjara bagi Indonesia. Bahkan media Islam menjadi penyelamat ideologi pancasila dari pengaruh paham radikal. Kekurangan pemerintah selama ini adalah tidak mafhum dalam memahami eksistensi media.

Dalam negara yang menganut asas demokrasi, hak-hak rakyat harus dihargai termasuk pemroduksian media Islam. Pemerintah tidak harus menggugat kembali harmonisasi yang telah tercipta sebelumnya. Kehadiran pers merupakan kontrol kekuasaan agar tidak bertindak semaunya.

Harusnya pemerintah memaknai media sosial Islam sebagai alat pencegahan radikalisme yang memiliki basis nasionalisme kuat dan murni terhadap cita-cita bangsa ini, tak perlu diragukan. Masyarakat Islam menganggap pancasila dan NKRI sudah menjadi final (nation pancasila final of state Indonesian).

Pemerintah seyogyanya membedakan antara masuknya paham radikal dengan perkembangan media Islam. Paham radikal, seperti ISIS menganut pemikiran, sikap dan tindakan didasarkan pada ideologisasi yang kemampuannya tak bisa di batasi dan negara tidak bisa mematikan aktivitas sebuah ideologi, itupun datang dari luar.

Sementara media Islam yang ada selama ini berkembangnya hanya untuk program sosial kemanusiaan seperti kegiatan dakwah, tadarrus al quran, informasi traveling, dan bersifat nirlaba atau bisnis produk Islami. Pemerintah tak layak berkesimpulan atas hipotesis yang salah pada media sosial Islam sebagai penyebaran paham radikal, apalagi justifikasi terhadap masyarakat Islam radikal atau teroris, sungguh dangkal cara mengurus negara.

Makna membahayakan keselamatan dan keamanan negara bagi pemerintah multitafsir karena dianggap mengganggu stabilitas negara. Sebaiknya pemerintah mencabut surat yang telah diedarkan itu karena media dan ideologi pemeikiran tak pernah mati dan media Islam disangsikan tak akan memenjarakan bangsa Indonesia dalam sejarah kelam. Pemerintah hanya habiskan energi untuk memblockir situs media Islam karena setelah itu akan tumbuh sejuta situs lain dan tindakan blokiran diluar kewajaran serta tidak terpuji.

Rusdianto
Pengamat Komunikasi Politik Pembangunan Pemerintahan Institut Bisnis Muhammadiyah Bekasi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun