Mohon tunggu...
Rizki Kurniadhi
Rizki Kurniadhi Mohon Tunggu... -

Pengemban Dakwah | Re-Establishment of Syariah-Khilafah | Manage Trafic @ Civil Organisation of Muslim (CONUS Unnes), Badan Kordinasi Lembaga Dakwah Kampus (BKLDK) Wilayah Semarang

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Mendefinisi Nilai Makan

30 Januari 2015   08:32 Diperbarui: 17 Juni 2015   12:07 20
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ada,suatu ketidakrelaan yang coba saya bangun tentang kondisi situasi psikologistertentu dalam pergaulan teologis dan kultural di lapangan integritas nasional kita, yang menjadi sumber ketidakrelaan tersebut.

Bertolak dari realitas, apa yang ingin saya lakukan dengan tulisan ini hanyalah mencicil landasan rasional kita agar kita berhak menyebut Rasul terakhir kita dengan Muhammad. Tidak kebutulan bahwa arti harfiah kata “Muhammad adalah juga yang terpuji”.

“Makan hanya ketika lapar, dan berhenti makan sebelum kenyang” adalah formula tentang kesehatan hidup. Tak hanya menyangkut tubuh, tapi juga keseluruhan mental sejarah. Ia adalah contoh soal lebih dari sekadar teori keilmuan tentang keefektifan dan efisiensi.

Setelah hampir dua setengah abad ini, pemahaman manusia sedunia secara sadar akan terintegritasnya skematis berpikir dengan pamahaman nilai kapitalis-liberal dengan asas dasar sekuleris-materialis.

Dalam perjalanan kehidupannya, manusia berusaha melunasi kewajiban-kewajiban jasmaniahnya. Salah satu unsur adalah pemenuhan kepentingan perut, saat ini sering kita sebut dengan manusia “diperbudak perut”.

Sesuatu yang grambyang. Manusia itu sendiri bukanlah hamba perut. Sebab, perut sekedar penampung dan distributor sejumlah zat yang diperlukan dalam upaya memelihara kesehatan.

Perut tak pernah mempersoalkan, apakah kita memilih nasi pecel atau pizza, lembur kuring atau masakan jepang.
Perut pun tidak menolak untuk disantuni dengan jenis makanan cukup harga seribu rupiah.


Suatu hal yang menuntut berlebih pertama-tama adalah lidah, lidah yang disetir oleh kosmos alam pemikiran manusia. Dan lidah pula yang mendorong kita harus mengeluarkan delapan ribu, empat puluh ribu, atau terkadan ratusan ribu, tentunya lidah yang terdomplengi kedok modernitas, gengsi, kepriyayian, serta penyakit-penyakit kemanusiaan lainnya.

Kecendrungan ini telah sempurna dipalsukan, dimanipulir, atau diartifisialkan menjadi tabiat kultur dan peradaban, membentuk perputaran baru dari esensi makan dalam kontek perut dan kesehatan. Budaya artifisialisasi makan ini dieksploitasi dan kemudian dipacu oleh etos industrialisasi segala bidang kehidupan dalam kebohongan hipokrisi (kemunafikan) global.

Padahal perut hanya membutuhkan “makan ketika lapar dan berhenti makan sebelum kenyang”. Maka yang bernama “makan sejati” ialah makan yang sungguh-sungguh untuk perut. Adapun yang pada umumnya kita lakukan selama ini adalah “memberi makan kepada nafsu”.


Perut amat sangat terbatas dan Allah mengajarinya untuk tahu membatasi diri. Sementara nafsu adalah api yang tak terhingga skala perbesaran atau pemuaiannya. Dengan kesadaran atas prinsip dasar kehidupan bukanlah melumat, melampiasakan, meloloskan, atau menghabiskan. Metode pembebasan/kemerdekaan bagi kehidupan justru melalui cara-cara mengendalikan, menyadari batasan-batasan, kesanggupan menyaring, menyeleksi dan menyublimasikan. Dari dorongan hajatul ‘udlowiyah (kebutuhan jasmani), mengurusi regulasi, menguasai keputuan politik, dan apa saja dimana saja.

Rekayasa kemurnian budaya makan pada masyrakat kita –dari naluri hingga aplikasi- mengandung inefisiensi atau keborosan dan keserakahan, yang berpeluang menuliskan catatan pinggir dalam sejarah manusia yang sedang berjalan santai menuju kehancuran demi kehancuran, yang berlangsung secara lamban secara materiil, namun berlangsung sangat cepat dan radikal secara ruhiyah; disamping sangat tidak efektif mendefinisikan tujuan makan itu sendiri.

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun