Mohon tunggu...
Pendidikan

Bollard Malioboro di Antara Sistem Nilai, Manusia, dan Benda Desain

3 Desember 2018   23:25 Diperbarui: 3 Desember 2018   23:37 1018
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Malioboro merupakan salah satu destinisasi wisata favorit yang menarik minat wisatawan domestik maupun dari mancanegara terutama bagi wisatawan yang hobi berbelanja. Objek wisata yang terletak di jantung kota Yogyakarta ini tidak hanya menjadi kawasan perbelanjaan saja namun juga menjadi saksi bisu perkembangan komplek keraton Yogyakarta karena pembangunannya yang beriringan.

Pemerintah ingin mengubah kawasan Malioboro menjadi semi-pedestrian. Menjadikan kawasan yang manusiawi, dan ramah bagi pejalan kaki. Salah satunya dengan memberikan Bollard (bola putih) yang ditempatkan di sepanjang jalan Malioboro hingga titik nol kilometer Yogyakarta yang menjadi objek utama kajian kita kali ini. Street furniture satu ini dibuat sejak dimulainya revitalisasi tahap 1 hingga tahap kedua kawasan pedestrian Malioboro. Hal ini juga ditegaskan oleh Eri Purnomo selaku manager proyek revitalisasi 1: "Bollard Bulat Teraso ini diletakkan di tepian yang berbatasan langsung dengan jalan aspal. Kalau yang di gang (akses jalan kecil), menggunakan Bollard Tabung," Di kutip dari wawancara beliau dengan Tribun Jogja pada Minggu (4/12/2016).

Pada wawancara tersebut juga di sebutkan sebagian kegunaan bollard yang tersebar di sepanjang jalur pedestrian malioboro ini salah satunya menghalau kendaraan terutama becak yang sering kali memakirkan kendaraanya di sepanjang kawasan tersebut yaitu dengan menepatkannya pada bagian pinggir di sepanjang pedestrian.

Beberapa uraian di atas selengkapnya akan di bahas tuntas pada bab pembahasan. Dari kajian kami kali ini, harapannya artikel ini dapat menjadi literasi bagi pembaca sekaligus menjadi sumbangsih bagi perkembangan ilmu desain komunikasi visual (DKV) yaitu dengan menerapkan keselarasan antara nilai estetika karya dengan nilai fungsionalnya sebagaimana dasar ilmu DKV untuk memecahkan permasalahan yang ada sekaligus memberikan solusi penyelesaiannya.

Mungkin ini saja yang dapat kami sampaikan. Semoga dapat bermanfaat bagi pembaca dan dapat digunakan sebagaimana mestinya. Tidak hanya bagi yang terjun pada bidang kreatif saja namun juga masyarakat luas.

PEMBAHASAN

  • Identifikasi

Bollard adalah patok pembatas seperti yang dipasang sepanjang Malioboro.  Bollard yang dipasang di Malioboro memiliki bentuk bola dengan di tegahnya terdapat garis melingkar dan menjorok ke dalam. Bollard ini berwarna abu abu dengan tekstur marmer. Jumlah bollard yang dipasang di Malioboro kurang lebih sebanyak 413 buah. Material pembuatan bollard tersebut adalah beton. Bollard ini ditata berjajar jajar di pinggir kawasan pedestrian Malioboro sedangkan jarak antar bollard kurang dari satu meter.

Bollard sebenarnya adalah  nama pengait tali kapal di dermaga. Karena bentuknya yang mirip yaitu tabung dengan bulatan di atasnya, maka patok pembatas jalan juga dinamai bollard. Namun Bollard pun juga memiliki bermacam macam bentuk, ada yang bola, ada yang tabung seperti bollard kapal. Meskipun bentuknya bervariasi patok pembatas jalan ini tetap diberi nama bollard. Di kawasan  pedestrian  malioboro  bollard  berbentuk bola dengan garis melingkar, di semarang  berbentuk bola bulat, dikota Munich Jerman berbentuk pipa, di Vatikan, berbentuk kapsul  di Bourke Street Mall, berbentuk pipa juga, sedangkan di bagian lain Melbourne berbentuk balok. Berwarna abu abu dengan corak batu marmer  dan bertekstur  maya. Bahan batu bollard terbuat dari corcoran beton  yang dicetak sedemikian rupa, sehingga membentuk bola dengan garis tengah. Bollard ada yang berbentuk bulat sempurna dan ada yang berbentuk datar pada bagian atas, yang berfungsi sebagai tempat duduk. Bollard yang berbentuk bola hanya untuk pelindung pejalan kaki dari kendaraan lalu lintas.

  • Analisis

Menurut Agus Sachari (2002) Salah satu persoalan kompleks yang terjadi hampir di semua kota besar di dunia adalah bekembangnya perilaku yang dinilai asosial  dan bertentangan dengan  norma norma kewajaran. Semakin makmur  satu negara dan semakin taat hukum  masyarakat, maka perilakunya pun memiliki ketertiban yang sejalan dengan cita cita pertumbuhan kota modern. Namun faktanya, kondisi negara amatlah beragam, kota modern dibangun bukannya semakin tertib, tetapi mengundang kaum urban untuk hijrah secara besar besaran menuju kota baru tersebut. Tidak ada kota yang tidak mengandung masalah didunia ini, namun tingkat permasalahan itulah yang menjadi ukuran 'keberhasilan' program pembangunan perkotaan. (p. 49).

Malioboro adalah pusat destinasi wisata belanja di Yogyakarta. Masyarakat yang ada di Malioboro meliputi pedagang asongan, pedagang kaki lima, tukang becak, kusir andong, pengemis, pengamen, serta orang orang yang berkunjung di Malioboro. Mayoritas masyarakat yang memiliki lapangan kerja di Malioboro bekerja di sektor informal dan memiliki tingkat pendidikan yang rendah. Menurut Agus Sachari (2002) "Berkembangnya kota dan tingkat kepadatan penduduk yang tingi menyebabkan lahan pekerjaan menjadi amat terbatas. Akibatnya banyak masyarakat yang berusaha menciptakan lapangan kerja sendiri  dengan modal terbatas. Menjamurnya usaha usaha ini tanpa aturan yang mengikat, kemudian dikenal sebagai sektor  informal. Lingkupnya hampir tak terbatas, mulai pedagang kaki lima, penjaja asongan, pemulung, hingga peminta minta, Secara perorangan mungkin mereka tak membutuhkan "design" . tetapi dilihat dari skala makro dan ketertiban perkotaan, tentu usaha mereka perlu dan penanganan partisipatif dari dirinya sendiri atau pihak pihak yang terkait.

Hadirnya sektor informal di perkotaan, dalam kacamata pemerintah daerah tertentu saja dinilai sebagai tindak ilegal, namun disektor lain juga untuk tertibnya sebuah perkotaan yang nyaman membutuhkan penataan dan penegakan aturan . Untuk itu pemerintah daerah tetap memerlukan kompromi-kompromi , disamping memperhatikan konsep kebaikan tata kota. Untuk inilah, pemecahan desain tetap diperlukan sebagai satu alternatif dalam menjembatani dua sudut pandang yang berbeda itu. (p. 86)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun