Mohon tunggu...
Mochamad Rizki Fitrianto
Mochamad Rizki Fitrianto Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer Writer

Menulislah agar dipahami, bicaralah supaya didengar, dan membacalah untuk mengembangkan diri - Gus Dur

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Framing, Mengaburkan Fakta, Melemahkan Logika

21 Januari 2020   13:50 Diperbarui: 21 Januari 2020   15:27 55
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Kiri dikira komunis
Kanan dicap kapitalis
Keras dikatai fasis
Tengah dinilai tak ideologis

Muka klimis katanya necis
Jenggotan dikatai teroris
Bersurban dibilang kearab-araban
Bercelana Levi's di-bully kebarat-baratan

Diam dianggap pasif
Lantang katanya subversif
Bertani dianggap kuno
Jadi pegawai distempel mental londo

Memilih jadi kere salah
Ingin kaya sangatlah susah
Belum berhasil dihina
Sukses jadi omongan tetangga

Makin hari makin susah saja
Menjadi manusia yang manusia
Sepertinya menjadi manusia
Adalah masalah buat manusia

(Iksan Skuter - Bingung)

Ya, di atas tadi adalah penggalan dari lirik lagu milik Iksan Skuter dengan judul bingung, mengungkapkan keresahan dan kegusaran sang pencipta lagu asal kota Malang ini terhadap kondisi sosial, politik, serta masyarakat yang jamak terjadi di sekitar kita sekarang ini dimana masifnya framing yang terjadi entah secara  sadar atau bahkan tanpa sadar kita lakukan. 

Entah siapa yang mengawali, entah bagaimana ini semua diawali namun seperti itu lah kondisinya. Bahkan saya masih mengingat betul cerita dari pendahulu saya bahawa pada masa sebuah orde, apabila kita tidak memilih satu partai tertentu kita kan di cap sebagai pembelot atau penganut faham komunis, wallahualam

Mengutip cakheppy.wordpress.com, Konsep framing sering digunakan untuk menggambarkan proses seleksi dan penonjolan aspek tertentu dari realitas oleh media. Framing dapat dipandang sebagai penempatan informasi--informasi dalam konteks yang khas sehingga isu tertentu mendapatkan alokasi lebih besar daripada isu yang lain. 

Ide tentang framing, pertama kali dilontarkan oleh Beterson tahun 1955. Frame pada awalnya dimaknai sebagai struktur konseptual atau perangkat kepercayaan yang mengorganisir pandangan politik, kebijakan dan wacana, dan yang menyediakan kategori-kategori standar untuk mengapresiasi realitas. Meski pada awalnya Framing lebih dikenal melalui media namun saat ini telah terjadi framing yang dilakukan oleh suatu kelompok, bahkan oleh individu.

Kembali ke topik pembahasan, Framing, paling sederhana dan jamak kita jumpai adalah tentang Agama, saat kita melihat seseorang yang bersurban, berjubah, berjanggut beberapa diantara kita menggangapnya sebagai penganut faham tertentu, atau lebih parahnya kita menganggap itu sebagai teroris. 

Padahal hal tersebut hanyalah subyektivitas individu yang tidak bernilai baku, sedangkan pada beberapa orang hanya mengikuti dan menjalankan apa yang dianjuran seperti sunnah dalam Agama. Namun beberapa dari kita masih terjebak dalam pemahaman framing tadi. Entah siapa yang mengawali, entah bagaimana ini diawali namun seperti itulah kondisinya.

Framing di sisi lain bagai pisau bermata dua, atau bagai buah simalakama. Beberapa orang yang terkena framing akan merasa apa yang mereka anut seolah-olah sebagai sesuatu yang salah dan bertentangan dengan kebiasaan atau norma yang ada di masyarakat. Di sisi lain pula ada yang memanfaatkan framing sebagai sarana membangun citra diri atau lazimnya kita mengenal dengan istilah pencitraan. 

Hal-hal tersebut sering kita jumpai dalam kehidupan dunia maya, dan lebih jamak lagi di dunia politik yang dengan sedemikian mudahnya pengaruh framing ini menyebar dimanfaatkan dengan mencoba seolah-olah menciptkan citra yang baik atau ideal kepada publik.

Di konteks bermedia sosial pun framing kerap kali dijadikan "senjata" untuk melontarkan "serangan" atau menjatuhkan seseorang, namun di sisi lain framing pun dapat dijadikan pula sarana oleh segelintir orang untuk memperoleh perhatian publik di mana pada kasus ini mereka lebih mem"framing" dirika mereka sendiri dan mempengaruhi pandangan orang lain dan penilaian orang lain terhadap mereka dengan fakta yang dapat diciptakan

Namun di sinilah letak permasalahanya, dengan masifnya pemahaman framing ini kita jadi sulit membedakan mana yang asli dan palsu, mana yang nyata dan rekayasa, mana yang natural dan abal-abal, mana yang subyektif dan obyektif. Semua yang tertangkap oleh indra kita seolah-olah menjadi abu-abu. Mungkin tidak setiap orang merasakan hal yang sama seperti itu namun bagi saya sendiri hal seperti itui saya alami. 

Contoh sederhana yang saya alami adalah seperti saat kita mengakses media sosial dan melihat seseorang mengunggah sebuah postingan tentang Agama, dalam pikiran saya pernah terbesit apakah ini murni menyampaikan kebaikan? apakah ini hanya ingin menampakan kebaikan? dan sebagainya. 

Di sini saya berhenti sejenak dan merasakan bahwa saya semakin mendekati kepada keburukan, mencoba berburuk sangka terhadap sesuatu yang saya sendiri tidak ketahui, atau suudzon dalam menanggapi realita. Padahal lebih banyak yang tidak saya ketahui daripada apa yang saya ketahui, Lalu saya coba bertanya pada diri sendiri, apakah saya menjadi salah satu pelaku framing walau hanya sebatas terbesit dalam pikiran...

Apakah pemahaman framing sudah sedemikian masifnya meng-infiltrasi ke dalam kehidupan kita sehari-hari?

Entah siapa yang mengawali, entah bagaimana ini semua diawali..

Salam..

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun