Mohon tunggu...
Mochamad Rizki Fitrianto
Mochamad Rizki Fitrianto Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer Writer

Menulislah agar dipahami, bicaralah supaya didengar, dan membacalah untuk mengembangkan diri - Gus Dur

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Framing, Mengaburkan Fakta, Melemahkan Logika

21 Januari 2020   13:50 Diperbarui: 21 Januari 2020   15:27 55
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Framing di sisi lain bagai pisau bermata dua, atau bagai buah simalakama. Beberapa orang yang terkena framing akan merasa apa yang mereka anut seolah-olah sebagai sesuatu yang salah dan bertentangan dengan kebiasaan atau norma yang ada di masyarakat. Di sisi lain pula ada yang memanfaatkan framing sebagai sarana membangun citra diri atau lazimnya kita mengenal dengan istilah pencitraan. 

Hal-hal tersebut sering kita jumpai dalam kehidupan dunia maya, dan lebih jamak lagi di dunia politik yang dengan sedemikian mudahnya pengaruh framing ini menyebar dimanfaatkan dengan mencoba seolah-olah menciptkan citra yang baik atau ideal kepada publik.

Di konteks bermedia sosial pun framing kerap kali dijadikan "senjata" untuk melontarkan "serangan" atau menjatuhkan seseorang, namun di sisi lain framing pun dapat dijadikan pula sarana oleh segelintir orang untuk memperoleh perhatian publik di mana pada kasus ini mereka lebih mem"framing" dirika mereka sendiri dan mempengaruhi pandangan orang lain dan penilaian orang lain terhadap mereka dengan fakta yang dapat diciptakan

Namun di sinilah letak permasalahanya, dengan masifnya pemahaman framing ini kita jadi sulit membedakan mana yang asli dan palsu, mana yang nyata dan rekayasa, mana yang natural dan abal-abal, mana yang subyektif dan obyektif. Semua yang tertangkap oleh indra kita seolah-olah menjadi abu-abu. Mungkin tidak setiap orang merasakan hal yang sama seperti itu namun bagi saya sendiri hal seperti itui saya alami. 

Contoh sederhana yang saya alami adalah seperti saat kita mengakses media sosial dan melihat seseorang mengunggah sebuah postingan tentang Agama, dalam pikiran saya pernah terbesit apakah ini murni menyampaikan kebaikan? apakah ini hanya ingin menampakan kebaikan? dan sebagainya. 

Di sini saya berhenti sejenak dan merasakan bahwa saya semakin mendekati kepada keburukan, mencoba berburuk sangka terhadap sesuatu yang saya sendiri tidak ketahui, atau suudzon dalam menanggapi realita. Padahal lebih banyak yang tidak saya ketahui daripada apa yang saya ketahui, Lalu saya coba bertanya pada diri sendiri, apakah saya menjadi salah satu pelaku framing walau hanya sebatas terbesit dalam pikiran...

Apakah pemahaman framing sudah sedemikian masifnya meng-infiltrasi ke dalam kehidupan kita sehari-hari?

Entah siapa yang mengawali, entah bagaimana ini semua diawali..

Salam..

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun