Bagian 7: Anak dari Dua Dunia
Beberapa tahun berlalu sejak malam bulan mati itu. Desa Lamut perlahan kembali tenang, meski tak sepenuhnya damai. Bayi Mira, yang diberi nama Sari, tumbuh menjadi anak yang cerdas... tapi berbeda.
Matanya tajam, terlalu tajam untuk anak kecil. Kadang ia bisa menirukan suara siapa pun di desa bahkan suara orang mati. Sari juga sering berbicara pada "temannya" yang tak terlihat, dan duduk berjam-jam menghadap sungai, seperti sedang mendengar bisikan.
Mira, ibunya, makin kurus dan murung. Ia tahu ada sesuatu yang salah... tapi rasa cinta pada anaknya menahan ketakutan itu dalam diam.
Suatu malam, Sari memanggilnya sambil tersenyum:
"Ibu... Nenek Ijah bilang aku harus belajar terbang."
Mira membeku. Nama itu yang sudah lama tak disebutkan terdengar lagi dari mulut putrinya. Ia tak pernah menceritakan tentang Mak Ijah. Tapi Sari tahu. Sari selalu tahu.
Sementara itu, di sisi lain Kalimantan, di sebuah dusun tua dekat Barito, seorang perempuan renta sedang menggambar lingkaran darah di tanah. Di hadapannya, cermin pecah yang pernah digunakan Bu Lestari. Ternyata, tak semuanya terbakar malam itu.
Perempuan itu mengenakan kalung tulang. Suaranya parau. "Dia berhasil menyelamatkan bayi itu... tapi darahku tetap mengalir di nadinya."
Ia menatap ke langit. "Anak itu... akan menjadi kuyang sejati. Tapi dia akan memilih sendiri: terang... atau kelam."
Di Lamut, malam kembali turun. Sari berdiri di halaman belakang, menatap langit gelap tanpa bulan. Tubuhnya kecil, tapi dari mata itu tampak kekuatan yang belum terbangun sepenuhnya.