Mohon tunggu...
Rizki Muhammad Iqbal
Rizki Muhammad Iqbal Mohon Tunggu... Penulis - Suka makan ikan tongkol

Hari ini adalah besok pada hari kemarin

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Sebuah Pesan dari Kisah-kisah Kecil

8 Februari 2020   02:10 Diperbarui: 8 Februari 2020   02:14 85
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: riurealita.com

Begitu banyak suara, namun semuanya letih dan sunyi. Kita berada di dalam ruang-ruang cakrawala yang terbatas; menyaksikan beberapa pesan kecil yang disampaikan lewat suara hati yang sepi dan tak ada yang peduli.

Kita menelisik di balik bilik suara; suara nyanyian raya; suara kekosongan kota; dari gegap gempita alam semesta. Kita berjalan terseok-seok di trotoar, dan benar: di situlah kita terperangah.

Di sudut lain, di sudut remang-remang yang nyaris sepi, kita menemukan sesosok ayah yang tertidur beralaskan tikar yang kusut; carut marut; dengan koran yang menempel pada wajahnya yang lusuh. Anaknya menggenggam teh plastik dengan senyum tipis di mulutnya, melihat anak-anak lain pulang dari sekolahnya.

Di dalam ruang yang lain, seorang anak kecil yang berdansa saat lampu kembali merah, lalu meminta recehan sebagai permintaan akan penghargaan.

Menjelang senja, kita terpaut pada cahaya dan lentera. Sesosok nenek tua duduk termenung di tepian jalan; menyaksikan kehidupan terus mengalir dan berjalan, sedangkan dia dipenuhi oleh kebisuan dan kepasrahan.

Begitu banyak kebahagiaan, tak sedikit juga penderitaan. Seorang kakek tua mendorong gerobak dengan anak kecil di dalamnya, berharap mendapatkan sisa-sisa makanan yang terbuang. Seorang pemuda setengah tua tertidur di pinggir jalan; di depannya mobil-mobil mewah berlalu-lalang; jauh akan rasa kepantasan dan mereka tak saling memedulikan. Di jalanan, dia selalu ingat pada kematian.

Para budak pulang dengan gamang seraya menengadahkan doa di ujung petang, dengan wajah yang lusuh dipenuhi bintik-bintik peluh, berharap bisa membeli makan demi keluarganya yang tercinta. Seorang kakek tua dengan motor butut melintas dengan sekejap dan terjebak dalam sekat berupa hujan; tanpa sempat ia makan, hujan pun reda, dan dia kembali naik ke atas pelananya.

Mereka meneruskan nyanyian sunyi yang dikobarkan, bersama kepedihan yang mendalam; mereka berusaha menerima kenyataan tanpa pernah menyatakan pembenaran sebagai wujud pemberontakan. Baginya, pembenaran adalah bentuk lain dari distorsi dan ambiguitas, padahal kenyataan datang tanpa sempat terbayangkan.

Kekuasaan telah memusatkan orientasi pada pertahanan, peperangan, dan penumpukkan kekayaan; telah habis berjuta-juta cuan demi sesuatu yang disebut kepentingan; betapa hampanya kehidupan tanpa sempat memperhatikan; tanpa sempat mempertanyakan; di manakah letak kemanusiaan jika kita kembali hadir untuk sekedar berbaring di kolong-kolong jembatan?

Keramaian telah mengaburkan arah pandang. Seraya berserah pada kalah, mereka terus melanjutkan kehidupan yang tak menjanjikan. Ketika orang-orang merayakan kebahagiaan dengan tangan bersalaman, menyambut kedatangan ramadhan dan kemenangan hari raya, mereka bersenang dalam kehampaan; pada caci maki dunia yang tidak terlukiskan; pada suara yang tak sempat didengarkan.

Jika kita mempertanyakan kasih sayang, pantaskah kita berebut kursi kekuasaan dan mempertajam hasrat kemenangan tanpa memberikan pandangan kepada orang-orang yang terlupakan?

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun