Optimisme sering dipandang sebagai energi positif yang menggerakkan manusia untuk maju menghadapi tantangan hidup. Seseorang yang optimis diyakini mampu melihat peluang di balik kesulitan dan tetap tegar meski diterpa kegagalan. Namun, tidak semua optimisme membawa kebaikan. Ada kalanya optimisme justru terkontaminasi emosi negatif, seperti dendam, yang membuatnya kehilangan esensi mulianya.
Pak Bayu Kurnianto mengingatkan bahwa optimisme bukanlah dosa. Dalam banyak kasus, optimisme bahkan menjadi fondasi keberhasilan. Namun, optimisme yang dibalut dendam terhadap kenyataan hidup dapat menjelma menjadi ketidakbaikan. Alih-alih menjadi cahaya penerang, optimisme semacam itu justru menyeret manusia pada ambisi buta yang mengikis kebijaksanaan.
Optimisme yang sehat lahir dari penerimaan terhadap kenyataan hidup. Seseorang yang mampu berdamai dengan kegagalan akan menjadikan optimisme sebagai dorongan untuk memperbaiki diri, bukan senjata untuk melawan dunia. Dalam hal ini, optimisme menjadi sikap mental yang membebaskan, bukan membelenggu.
Sebaliknya, optimisme yang dipenuhi dendam biasanya muncul ketika seseorang tidak mampu menerima realitas. Ketidakpuasan yang mendalam mendorong lahirnya tekad untuk "membalas" kehidupan. Tujuannya bukan lagi untuk tumbuh, melainkan untuk membuktikan diri dengan cara yang agresif. Optimisme semacam ini kerap mengorbankan nilai moral dan relasi dengan orang lain.
Dunia modern yang kompetitif sering kali mendorong manusia untuk menghalalkan segala cara. Motivasi "akan kubuktikan aku bisa" bisa menjadi sumber energi luar biasa, tetapi juga berpotensi menjerumuskan. Jika tidak dikendalikan, semangat itu bisa melahirkan kesombongan atau bahkan kebencian pada siapa saja yang dianggap penghalang.
Optimisme yang bijak selalu berjalan beriringan dengan kerendahan hati. Ia tidak lahir dari dendam, tetapi dari kesadaran bahwa setiap kegagalan adalah guru. Orang yang bijak tidak merasa perlu membalas dunia, karena ia paham bahwa dunia bukan musuh yang harus dikalahkan, melainkan medan pembelajaran yang harus disyukuri.
Untuk membangun optimisme yang sehat, diperlukan latihan mengelola emosi dan memperkuat kesadaran diri. Proses ini dimulai dengan refleksi: apakah tekad kita untuk maju didorong oleh rasa cinta pada kehidupan atau oleh kebencian pada kenyataan? Pertanyaan ini membantu kita menjaga niat agar tetap jernih dan murni.
Selain itu, optimisme perlu dibangun di atas nilai-nilai moral dan spiritual. Keyakinan bahwa segala sesuatu berada dalam kuasa Tuhan akan membuat manusia lebih ikhlas dalam menerima kenyataan. Dengan sikap ini, keberhasilan tidak melahirkan kesombongan, dan kegagalan tidak menumbuhkan dendam.
Pak Bayu Kurnianto melalui pesannya seolah mengingatkan bahwa optimisme bukan sekedar soal pantang menyerah, tetapi juga tentang kebijaksanaan dalam memaknai hidup. Menjalani kehidupan dengan hati yang bersih membuat optimisme menjadi energi yang menumbuhkan, bukan merusak.
Kita perlu memahami bahwa hidup tidak selalu berjalan sesuai rencana. Optimisme yang sehat membantu kita tetap melangkah tanpa kehilangan kemanusiaan. Sebaliknya, optimisme yang penuh dendam menjauhkan kita dari kebahagiaan sejati. Maka, jadilah optimis yang bijak: berusaha keras, menerima kenyataan, dan tetap rendah hati.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI