Di bawah langit pagi yang cerah di Palangkaraya, seorang pemuda berdiri di pinggir Sungai Kahayan. Namanya Ghani Mutaqin. Seragam ASN-nya tampak rapi, rambutnya disisir ke samping, dan wajahnya memantulkan ketenangan sekaligus keyakinan. Ia bukan orang asli Kalimantan, tapi hatinya telah menyatu dengan tanah ini. Setiap pagi, ia menyapa sungai yang tenang seperti ia menyapa masa depannya, dengan harapan dan rasa syukur.
Ghani adalah putra kedua dari Drs. Sumadha, yang di kampung halaman lebih akrab disapa Pak Madha. Ayahnya adalah sosok pendidik sederhana yang menanamkan nilai disiplin dan keikhlasan sejak Ghani kecil. "Hidup itu bukan soal jadi apa, tapi bagaimana kamu bermanfaat," kata ayahnya suatu malam, saat Ghani bingung memilih jurusan kuliah. Kalimat itu kemudian menuntunnya masuk Teknik Informatika di salah satu kampus negeri ternama di Malang.
Hari-hari kuliahnya tak selalu mudah. Ia bukan mahasiswa yang penuh gaya, tapi ia dikenal tekun dan jujur. Di balik layar komputer, ia menemukan dunianya. Di balik setiap baris kode, ada mimpi yang pelan-pelan ia rajut: ingin memberi sumbangsih nyata untuk negeri, bukan sekedar mencari penghasilan pribadi.
Lulus dengan predikat memuaskan, Ghani sempat ditawari pekerjaan di perusahaan swasta di Jakarta. Namun hatinya terpanggil pada jalur yang lain. Ia memilih mengabdi sebagai aparatur sipil negara di Kementerian Hukum. Penempatannya di Kalimantan Tengah bukan tanpa tantangan, tapi ia menyambutnya dengan tenang. "Negeri ini tak hanya butuh orang pintar di kota besar," batinnya.
Di Kanwil Kalteng Kementerian Hukum, Ghani bertugas mengelola sistem informasi dan administrasi. Ia memanfaatkan keahliannya untuk menyederhanakan proses birokrasi, mempercepat layanan, dan membantu sesama pegawai memahami teknologi. Tak jarang ia turun langsung membantu warga yang kesulitan mengakses layanan digital. Ia percaya, teknologi seharusnya memanusiakan, bukan menyulitkan.
Rekan-rekannya mulai mengenal Ghani bukan sekedar sebagai staf IT, tapi sebagai pribadi yang tenang, cerdas, dan rendah hati. Ia selalu menyapa dengan senyum, membantu tanpa pamrih, dan tak pernah meninggikan suara. Bahkan pimpinan kanwil pun beberapa kali memuji inisiatif dan etika kerjanya dalam rapat resmi.
Di akhir pekan, Ghani kadang menyempatkan diri video call dengan orang tuanya di kampung. Bu Madha, meski sudah sepuh, masih menyimpan semangat dan selalu menanyakan kabar. "Sudah kau temukan tempatmu, Nak?" tanya beliau suatu malam. Ghani hanya tersenyum. "Bukan tempatnya yang penting, Mi. Tapi apakah aku bisa memberi makna di tempat itu."
Waktu berjalan, dan Ghani semakin matang dalam pekerjaannya. Ia tak mencari sorotan, tapi kinerjanya mulai diakui. Beberapa kali ia diminta menjadi narasumber pelatihan digitalisasi di provinsi lain. Namun ia tetap memilih tinggal di Palangkaraya. Ia mencintai ketenangan kota ini, aroma tanah basah setelah hujan, dan suara angin yang membawa doa-doa sunyi.
Di tepian Sungai Kahayan, di kota yang jauh dari riuhnya ibukota, Ghani Mutaqin menulis kisahnya sendiri. Ia bukan tokoh besar, bukan pejabat tinggi. Tapi lewat kesetiaan pada tugas dan ketulusan dalam bekerja, ia menunjukkan bahwa pengabdian tak mengenal tempat, dan kadang, langit yang paling indah justru berada di timur, tempat matahari pertama kali menyapa bumi.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI