Mohon tunggu...
Rizal Mutaqin
Rizal Mutaqin Mohon Tunggu... Founder Bhumi Literasi Anak Bangsa

Semua Orang Akan Mati Kecuali Karyanya

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kabut di Atas Kelud, Cerah di Hati Kami

26 Mei 2025   08:31 Diperbarui: 26 Mei 2025   08:31 32
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bhumi Literasi Anak Bangsa (sumber: @bhumiliterasi_anakbangsa)

Tahun 2015, angin musim hujan mulai menari-nari di pelataran kampus UIN Malang. Aku dan Shinta, sahabat sekaligus partner diskusi sejak awal kuliah, baru saja menyelesaikan KKM di sebuah desa kecil. Setelah sebulan berkutat dengan masyarakat dan program kerja, kami kembali ke kampus dengan semangat yang membara. Semester lima menyambut kami, dan satu target sudah tertulis jelas di benak kami: lulus dalam delapan semester, tanpa tawar.

Shinta dikenal sebagai mahasiswi teladan. Ia tidak pernah sekalipun gagal dalam satu mata kuliah pun. Setiap lembar KHS-nya rapi dengan nilai-nilai memuaskan. Aku bangga padanya. Sementara aku harus menerima satu kenyataan pahit: aku pernah gagal di Daspro (Dasar-dasar Pemrograman). Satu noda kecil dalam catatan akademikku. Tapi aku bertekad, noda itu takkan menghalangiku mengejar target yang sama.

Meskipun semester lima belum menuntaskan semua teori, aku dan Shinta sudah mulai mempersiapkan skripsi. Kami merasa waktu terlalu berharga untuk menunggu. Shinta semakin sering terlihat di perpustakaan, menyelami buku-buku referensi seperti penyelam mencari mutiara. Sedangkan aku, memilih jalan berbeda. Aku menemui dosen waliku, Pak Fresy Nugroho, sosok yang dikenal sabar dan telaten.

Pak Fresy menyambutku dengan senyum dan secangkir kopi. Tanpa basa-basi, ia memberikanku judul skripsi: Implementasi Fast Guided Filter Pada Dark Channel Prior untuk Menghilangkan Kabut Pada Citra Kawah Gunung Kelud. Judul yang panjang, asing di telinga, tapi justru membuat mataku berbinar. Ada tantangan besar di baliknya, dan aku merasa inilah jalanku.

Tanpa menunggu lama, aku bersiap ke Gunung Kelud. Naik motor Revo kesayanganku, aku menembus kabut dan dinginnya dataran tinggi. Memo dari Pak Fresy kupegang erat saat sampai di pos penjaga. Dengan sedikit tanya jawab dan beberapa senyuman, aku diizinkan masuk ke ruangan data. Di sana, aku berhasil mendapatkan citra kawah Kelud, langsung dari sumbernya, sebuah pencapaian kecil yang terasa besar.

Sore menjelang malam saat aku kembali ke kampus, udara dingin belum lenyap, namun di ruang dosen, Pak Fresy masih menungguku. Lampu neon menerangi diskusi kami yang berlangsung intens, penuh catatan dan arahan. Ia membimbingku memahami setiap istilah, algoritma, dan logika pengolahan citra. Malam hampir menutup kota saat kami memutuskan untuk pulang, dengan janji bertemu kembali besok.

Dalam perjalanan pulang, aku bertemu Shinta di depan gedung perpustakaan. Ia menatapku dengan wajah penasaran. Di tangga yang basah oleh embun, aku menceritakan semuanya, tentang Kelud, citra digital, dan Fast Guided Filter. Shinta menyimak dengan antusias. "Menarik," katanya. "Sepertinya kamu benar-benar jatuh cinta pada skripsimu."

Hari-hari berikutnya diwarnai kerja keras. Aku menulis kode dan mengolah data, Shinta terus menggali referensi dan menulis kerangka skripsinya. Kami sering berdiskusi, saling memberi masukan. Dalam kesibukan itu, ada semacam ketenangan, bahwa kami tidak berjalan sendiri. Bahwa meski kabut menyelimuti puncak Kelud, kami justru merasa langit di atas kami mulai cerah.

tahun 2017 nanti, saat toga akhirnya bertengger di kepala, kami akan mengingat saat-saat ini. Saat skripsi bukan sekedar syarat kelulusan, tapi perjalanan spiritual. Saat aku berdiri di hadapan kawah gunung, dan Shinta tenggelam dalam lautan buku. Di sanalah kami tumbuh, sebagai pemimpi, sebagai pejuang, dan sebagai sahabat.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun