Mohon tunggu...
Riza Almanfaluthi
Riza Almanfaluthi Mohon Tunggu... pegawai negeri -

hamba Allah, abdi negara, penulis, blogger, rizaalmanfaluthi.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Jawaban Buat Ismail Hasani Si Penuduh

14 Januari 2011   02:21 Diperbarui: 26 Juni 2015   09:37 1450
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Di setiap masanya, Islam selalu digedor oleh musuh-musuhnya. Tidak hanya dari kalangan luar, dari orang-orang yang berwajah atau bernama layaknya nabi pun tidak kalah tangguhnya untuk ikut ramai-ramai menjadi penghancur agama. Minimal punya penyakit bernama kecemasan luar biasa, tidak percaya dan curiga berlebihan yang lazim disebut paranoid.

Tepatnya saat ini sosok paranoid itu ada pada Ismail Hasani, peneliti SETARA Institute, yang menyatakan dalam sebuah diskusi bahwa TKIT (Taman Kanak-kanan Islam Terpadu) dan SDIT (Sekolah Dasar Islam Terpadu) sebagai sarana pemupuk benih radikalisme Islam. Bahkan dia mengatakan bahwa lagu-lagu jihad Palestina yang biasa dinyanyikan oleh siswa-siswa lembaga pendidikan tersebut mengancam NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) dan bertentangan dengan Pancasila. Diskusi yang mengetengahkan tema tentang deradikalisasi untuk mengatasi kasus-kasus kekerasan atas nama agama itu diselenggarakan di Hotel Atlet, Jakarta (10/1).

Pernyataan Ismail Hasani sebagian memang tepat. Dulu, di zaman pergerakan nasional, sekolah memang menjadi tempat tumbuhnya sosok-sosok nasionalis radikal dan antikolonial. Ini menjadi dilema bagi penjajah Belanda pada saat itu, di lain pihak sekolah adalah tempat terbaik untuk menghasilkan administratur yang handal buat mereka. Tak bisa dipungkiri bahwa sekolah memang menjadi tempat yang tepat untuk menyuburkan idealisme.

Sayangnya sekarang Ismail Hasani sama seperti orang-orang Belanda puluhan tahun lampau itu. Takut dengan munculnya benih-benih idealisme. Bedanya Ismail Hasani berkulit coklat, mereka berkulit putih. Dulu yang berkulit putih identik sekali dengan penindas.

Dengan pernyataannya, Ismail Hasani terlihat alergi dengan jihad Palestina seberapapun ia menyangkal. Jihad Palestina adalah perjuangan rakyat Palestina untuk memerangi kesewenang-wenangan dan penindasan yang dilakukan oleh para imperialis dan zionis Israel itu. Dan setiap gerakan perlawanan terhadap kesewenangan-wenangan imperialisme, dalam sejarah, disebut juga sebagai gerakan nasionalisme. Lalu apa yang salah dengan pengumandangan lagu-lagu jihad Palestina tersebut?

Atau semuanya bertitik tolak terhadap definisi nasionalisme yang dipakai oleh Ismail Hasani yang terlihat sempit ala Nicolas Chauvin. Semua orang yang ada di luar batas tanah air mereka tidak dipedulikan dan hanya mengurus semua yang berkaitan langsung dengan apa yang ada di dalam batas wilayahnya.

Islam mengajarkan nasionalisme yang lebih luas dari sekadar itu. Berbuhul pada ikatan akidah esensinya. Jika nasionalisme itu adalah cinta, keberpihakan, rindu, berjuang membebaskan tanah air dari cengkeraman ketidakadilan, serta menanamkan makna kehormatan dan kebebasan dalam jiwa putera-puteri bangsa, memperkuat ikatan kekeluargaan antar anggota masyarakat, menyatukan diri dalam sebuah keluarga besar yang bernama NKRI dengan tetap turut merasakan apa yang saudara-saudara muslim rasakan di belahan manapun, maka Islam mengakuinya. Dan itulah nasionalisme dengan segala kebaikan yang ada untuk tanah air ini.

Yang tidak dibaca oleh Ismail Hasani juga adalah peran serta, opini serta dukungan dari rakyat Palestina terhadap proklamasi kemerdekaan republik Indonesia yang pada saat itu hanya secara de facto. Butuh pengakuan dari bangsa-bangsa lain untuk dianggap berdaulat dan sejajar dengan bangsa merdeka lainnya.

Terkecuali memang Ismail Hasani sudah memakan mentah-mentah tanpa dikunyah tuduhan Israel dan Ameriksa Serikat terhadap gerakan perlawanan Palestina sebagai gerakan terorisme. Maka wajar ia menyamakan lagu-lagu jihad Palestina itu sebagai lagu perusak NKRI. Dan ia membalas dengan tuba partisipasi rakyat Palestina  untuk kemerdekaan negeri ini.

Ismail Hasani juga lupa dengan sejarah atau memang pemikirannya yang sudah kena virus deislamisasi penulisan sejarah kalau kemerdekaan republik ini diperoleh dengan keringat dan darah yang dikorbankan para ulama dan santri yang mengobarkan semangat jihad untuk melawan penjajah Belanda. Atau aksi jihad yang dilancarkan seorang panglima besar Soedirman yang merupakan mantan seorang guru Moehammadijah.

Bung Tomo sudah kadung terkenal dengan teriakan takbir dan seruan jihadnya pada 10 November 1945. Tak terlepas 18 hari sebelumnya, kakek Gus Dur-salah seorang badan pendiri SETARA Institute-yang bernama Kiai Haji Hasyim Asy'ari mendeklarasikan resolusi jihad: perang suci melawan Belanda yang ingin kembali menjajah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun