Mohon tunggu...
Arisman Riyardi
Arisman Riyardi Mohon Tunggu... Lainnya - its me! hey...

Jika anda berfikir disini terlalu sunyi, yuk ke www.riyardiarisman.com !

Selanjutnya

Tutup

Film Pilihan

Belajar dari "The Music of Silence"

26 Mei 2020   15:05 Diperbarui: 26 Mei 2020   15:30 764
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Entah sudah hari keberapa saya bertahan di rumah saja. Rasanya senang sekali jika ada panggilan video, dari siapapun, ponsel yang jarang lepas dari pandangan pun mendukung, kemudian terjadi percakapan panjang dengan tawa-canda, obrolan yang entah ke mana arahnya dan sampai di mana ujungnya. Tapi saya suka, obat untuk pikiran saya yang terkena dampak corona.

Namun kesendirian jelas tak mau kalah, sering pula hadir. Berbagai film saya saksikan, series dengan berpuluh-puluh episode selesai tanpa mengenal waktu, merusak pola pada intinya. Tapi kembali lagi, saya lakukan karena saya suka, hiburan yang mungkin bisa saya dapatkan selagi bisokop masih ditutup.

Salah satunya melalui layanan streaming Mola TV Movies, di mana saya menemukan film berjudul The Music of Silence, yang mengajak saya untuk melihat perjalanan dan mendengarkan kehidupan Andrea Bocelli, musisi opera asal Italia.

"Amos, karena aku suka nama itu"

Hitam-putih, sebuah keheningan yang dirasakan oleh mata saya ketika pertama kali menonton film ini. Meskipun Cuma sebentar tapi bagi saya sungguh berkesan. Selanjutnya film ini akan jauh lebih berwarna, The Music of Silent bisa dibilang tak bertele-tele dalam membagikan kisah Sang Maestro yang dibagi dalam beberapa babak.

Amos, adalah nama yang dipilih oleh Andrea Bocelli. Kalian tahu apa alasannya? Karena ia suka nama tersebut. Awalnya saya biasa saja dengan alasan itu, namun sembari menikmati film, saya tersadar kalau ternyata itu adalah sifat yang ia miliki dari kecil.


Bocelli memilih melakukan hal-hal yang ia sukai, meskipun berujung kekecewaan, namun dalam prosesnya ia belajar. Begitulah film ini dibangun.

Singkat cerita, saat usia lima bulan Amos didiagnosa mengalami ganguang penglihatan, congenital glaucoma, yang kemudian berlanjut dengan operasi dan mempertemukan telinganya dengan suara indah dari musik opera. Setelah berkenalan, ia pun banyak belajar dari koleksi musik opera milik pamannya.

Babak pertama film menggiring saya untuk mengikuti rasa keingintahuan Amos akan banyak hal. Sebenarnya seperti anak kecil pada umumnya, semua benda disentuh. Tapi ternyata ia melakukannya untuk sebuah alasan, ia belajar mengingat, dan seiring berjalannya waktu meskipun punya gangguan pada penglihatannya ia tetap bisa melakukan tanpa bantuan orang lain.

Saya merubah posisi nonton, dari duduk kemudian tiduran, karena kebetulan streaming film ini saya lakukan melalui aplikasi Mola TV yang bisa diunduh secara gratis melalui App Store dan Google Play, jadi bebas mau posisi apa pas nonton, hehe.

Orang tua Amos tentu menginginkan hal baik untuknya, sehingga ia dimasukan ke sekolah tunanetra meskipun ia tak ingin. "Tak usah khawatir, tinggal 3 tahun lagi kita di sini" kata temannya sebelum ia tidur. Jujur, ini kalimat optimis banget menurut saya! 3 tahun bukan waktu yang sebentar loh. Dan saat mendengar kalimat itu saya langsung merasa kalau film ini akan memperlihatkan bagaimana support system bekerja.

Banyak dialog keren dalam film ini! (Sumber: Mola TV)
Banyak dialog keren dalam film ini! (Sumber: Mola TV)

Menit ke 23, saya dan Amos sepakat untuk menutup mata beberapa saat sabil menikmati sedikit keindahan film, sebelum akhirnya film menyuruh saya untuk membuka mata melanjutkan tontonan dan menunggu kejutan lainnya.

Yang ternyata membuat saya sedikit kesal, terlebih ketika ada adegan nangis yang ditiban dengan latar musik. Entah kenapa kadang saya berpikir ini menjadi hal yang berlebihan. Karena saya berpikir tangisan punya melodinya sendiri.

Bravo, Amos!

"Aku melihat apa yang aku inginkan" kata Amos. Ini salah satu part yang cukup sedih menurut saya, dan menyadarkan saya bahwa Amos adalah sosok yang 'selangkah di depan'. Saat ibunya nangis melihat keadaannya, ia punya kalimat yang hangat seperti pelukan.

Dan semakin film bergulir, semakin banyak dialog Amos yang saya suka. "Telat, aku sudah memikirkannya" salah satunya. Agak biasa sih, tapi kalau kalian nonton percakapan utuhnya pasti suka.

The Music of Silence adalah film yang dewasa dalam menyikapi kekurangan. Sudut pandang Amos dibentuk dengan sangat kuat bersamaan dengan support system yang ditampilkan, jadi enggak bikin pusing dan 'drama'.

Sebagai penonton yang bisa mem-pause film, saya merasa rugi jika melepaskan pandangan.

Babak tengah film semakin menunjukan karakter Amos sebagai sosok yang sadar kalau ia butuh kerja keras untuk 'dianggap' sama dengan yang lain.

Dan percapakan dengan Ayahnya setelah ia kembali bermain di pantai adalah buktinya. Kembali, Amos punya rangkaian kalimat yang juara!

Melalui Amos, film ini membuat ucapan "Menjadi dewasa itu menakutkan" nyata. Baru saja penonton diajak serius untuk menikmati suara indah Amos, tapi pita suara yang memanjang membuat suaranya berubah.

Seiring dengan kekecewaannya, ia pun menjadi dewasa dan kembali ingin membuktikan kalau dirinya sama dengan yang lain, dengan masuk sekolah hukum. Di sini agak drama sih, tapi untungnya sebentar doang.

Memasuki adegan yang enggak boleh dilewatkan (Sumber: Mola TV)
Memasuki adegan yang enggak boleh dilewatkan (Sumber: Mola TV)

Perjuangan hidup ala orang dewasa pun dimulai. Saya pikir akan ada 'gejolak emosi' di babak ini, tapi lama-kelamaan saya merasa film menjadi tak tentu arah, tapi masih layak dinikmati karena fashion Eropa tahun 90an begitu menarik.

Sampai pada akhirnya Amos memantapkan dirinya untuk menjadi penyanyi opera, dan mengikuti aturan kedisiplinan, barulah saya merubah posisi nonton menjadi serius lagi. Part yang enggak boleh dilewatkan.

Amos yang diperankan oleh Toby Sebastian semakin membuat saya sesak nafas. Adegan latihan bernyanyi dalam film ini seperti punya nyawa tersendiri, saya pikir kalau dibuat lebih banyak akan lebih seru. Secara keseluruhan, Film The Music of Silence memberikan komposisi yang pas dan baik untuk penontonnya dalam memahami betapa kerja kerasa Amos dalam meniti karir dan mengikuti arus kehidupan. Karena pada akhirnya tak ada istilah kebetulan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun