Mohon tunggu...
RiuhRendahCeritaPersahabatan
RiuhRendahCeritaPersahabatan Mohon Tunggu... Freelancer - A Story-Telling

Tidak ada cerita seriuh cerita persahabatan (dan percintaan)

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kita Tidak Pernah Kehilangan Romantika di Sini

5 Januari 2018   00:46 Diperbarui: 5 Januari 2018   14:49 540
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tetapi Nanda, tahukah engkau mengapa sekarang aku menyuratimu? Setelah empat  tahun menghilang dan tidak memberi setitik pun kabar kepadamu kecuali undangan (yang hilang) itu. Bukan karena engkau telah menemukan tambatan hati. Aku ikut bahagia engkau mendapatkan Mayesti. Aku menghilang supaya bayang-bayang Pedro tak lagi berkelebat dalam ingatanku. Engkau bukan, yang memperkenalkan Pedro kepadaku? Engkau juga yang menjadi kambing congek atau ... apa itu istilahnya? Obat nyamuk ya, haha ... kalau aku dan Pedro sedang ingin jalan-jalan. Dan engkau pula, hai sahabat sejatiku, yang memberi telinga dan empati terdalam ketika Pedro pergi dariku.

Engkau lelaki yang sangat baik hati. Tetapi bertemu terus denganmu seperti membawaku pada sosok Pedro tanpa henti. Nanda, kehadiranmu akan terus mengingatkan aku tentang Pedro. Jadi, aku menyingkir dulu darimu sampai aku siap kembali bertemu.

Sekarang aku sudah siap menjumpaimu dan ingin becerita tentang Roman, suamiku. Engkau mungkin sudah tahu dari Jingga dan Bram kalau setahun lalu aku menikah dengan duda beranak tiga itu. Ah, kamu pasti tertawa mendengarnya. Sejak kapan aku menyukai duda. Dia juga bukan lelaki yang romantis seperti Pedro. Ehm, aku tidak bermaksud membandingkan mereka. Kau tahu apa pekerjaan dia Nanda? Pasti engkau terkejut. Dia sehari-hari mengojek di sekitar rumah kami di Cijantung sampai ke Pasar Induk. Selain mengojek, Roman juga menyewa satu lapak di pasar induk untuk menjual berbagai jenis sayuran. Lapaknya bersebelahan dengan lapak milik kakaknya. Hanya saja, jenis barang dagangan mereka berbeda.

Kalau suamiku sedang mengojek dari pagi sampai siang, ia akan mengupah seorang karyawan untuk menjaga dagangannya. Uang hasil penjualan dipegang kakaknya. Menjelang sore, ketika lapak akan tutup, Roman menerima hasil penjualan hari itu. Ia menggabung uang jualan dengan hasil mengojek untuk diserahkan kepadaku. Aku bangga karena hasil pekerjaan dia cukup untuk menghidupi seorang istri dan 3 anak serta menyantuni komunitas anak jalanan yang ia rintis sejak 5 tahun lalu. Sementara di rumah, aku mengelola toko kelontong yang baru aku buka sejak kami menikah.

Engkau pasti bingung, bagaimana bisa perempuan karir sepertiku, mau berjualan barang-barang kelontong dan bersuamikan tukang ojek. Ditambah satu lagi, Roman itu merokok. Aku kan anti lelaki perokok? Ya, Roman memang perokok berat. Dulunya. Sekarang ia sedang menjalani terapi berhenti merokok, setelah kami rutin mengunjungi klinik berhenti merokok. Aku bukan hanya menemaninya ke klinik. Aku juga setiap pagi berlutut, berdoa agar Tuhan mematikan keinginan suamiku untuk merokok.

 Kalau di dalam pikiran suamiku tersimpan sebongkah keinginan untuk menghisap 400 zat beracun itu, aku berharap setiap pagi lapisan bongkahan itu terkikis satu-persatu sampai hilang tak berbekas. Aku tetap percaya kekuatan doa, Nanda. Aku tak bisa mengontrol suamiku, terutama di luar rumah, sudah berapa batang atau bungkus rokok yang ia habiskan. Kepada Tuhanlah aku berharap agar pikiran suamiku terkendali soal rokok. Tapi di rumah, apalagi di depan anak-anak, aku tidak menoleransi sedikitpun ia merokok.

Kalau engkau bertanya, 'bagaimana bisa jalan hidupmu seperti ini, Tina sahabatku?'; aku sulit menjelaskan. Kalau engkau bertanya lagi, 'apakah karena hatimu terlalu sakit ditinggalkan Pedro?'; aku juga tetap sulit menjelaskan. Dan kalau engkau kembali bertanya, 'apakah ini antitesa dari segala macam prinsip yang engkau genggam kuat-kuat tentang seperti apa suami yang engkau cari? Sebab, selama ini tidak ada gambaran sama sekali tentang lelaki perokok duda beranak tiga yang bekerja di pasar induk sambil mengojek sebagai suamimu'; aku akan berkata hal yang sama, aku sulit menjelaskannya, Nanda.

Tapi baiklah. Aku ceritakan kisah pertemuan kami. Roman itu sejatinya seorang penyair. Ia sudah menulis banyak puisi yang dikoleksi dalam beberapa buku. Nah, aku bertemu Roman ketika Posma, tetanggaku mengajaku ke acara temu sastra di Taman Ismail Marzuki. Banyak terpajang buku karya para sastrawan dan penulis yang terlibat di acara tersebut. Karena tertarik beberapa judul, aku membelinya, termasuk buku-buku kumpulan puisi milik dia. 

Rupanya Roman tahu kalau aku memborong buku-bukunya. Lalu ia menawarkan diri menandatangani buku-bukunya yang aku beli. Kemudian ia memberiku kartu nama. Tetapi aku sendiri tidak memberinya nomor telepon. Aku belum tahu kegunaannya. Inilah awal pertemuan kami. Bagiku, peristiwa itu tidak romantis sama sekali. Aku sudah sering mengunjungi acara temu ini dan itu, dan berkenalan dengan tokoh atau narasumber yang terlibat dalam acara itu.

Selang dua hari ia meneleponku. Ia mengajak bertemu di suatu tempat. Hmmm, dari mana ia tahu nomor teleponku? Ternyata dari Posma. Karena itu aku mengajak Posma ikut dengan kami. Tapi lama-lama Posma bosan dan mengatakan kalau aku tidak suka dengan Roman, jangan diterima lagi ajakannya.

Aku menerima saran Posma. Kami pun menghentikan pertemuan-pertemuan kami. Sebagai gantinya, kami bercakap-cakap di media sosial. Tak dinyana, media sosial justru mempererat pertemanan kami. Atau lebih tepatnya, mendekatkan ikatan emosional kami.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun